Bangsa Eropa semenjak awal abad XVI M, telah memperkenalkan budaya barat kepada umat Islam Indonesia. Bangsa Eropa (Bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda)
, di mata masyarakat Islam pada saat itu adalah lambang kekafiran dan sosok figur penjajah yang sangat berbahaya bagi peradaban islam. Berangkat dari cara pandang tersebut, maka semenjak awal kedatangannya telah terjadi perlawanan dari umat Islam. Berbagai peperangan terjadi antara penjajah eropa dengan raja-raja Islam di berbagai wilayah di Indonesia.
Sikap antipati dan menutup diri dari semua yang berbau Barat diterima oleh kebanyakan umat Islam Indonesia sebagai suatu pewarisan nilai-nilai perjuangannya. Hal ini terutama dipegangi oleh kaum tradisional, yang membedakan diri dan menyelamatkan tradisi yang dimilikinya sebagai suatu yang harus di murnikan dari adanya pengaruh budaya kaum penjajah. Tanpa terlebih dahulu melihat kemungkinan adanya unsur-unsur kebaikan yang dapat dijadikan masukan dan pelajaran bagi kemajuan tradisi dan budaya masyarakatnya.
Pesantren selain sebagai lembaga pendidikan umat Islam yang tertua, sekaligus berfungsi sebagai cagar masyarakat bagi tradisi umat Islam Indonesia, khususnya di pulau Jawa dan Madura. Begitu kukuhnya ia mempertahankan diri atas citra dirinya. sehingga sementara pengamat menganggap bahwa di sana.[2] pesantren adalah symbol keterbelakangan dan kejumudan dan ia tidak ubahnya seperti lembaga sosial dan perkampungan suku Indian di Amerika, atau suku Aborigin di Australia.
Makalah sederhana ini akan menguraikan tentang terjadinya pembaharuan dunia pesantren, yaitu pendidikan islam tradisional berikut dengan masyarakat yang menyangga keberadaan lembaga ini. Pemaparan ini sebagai upaya untuk menjelaskan bahwa di dunia pesantren juga telah terjadi pembharuan. suatu proses modernisasi karena pengaruh peradaban barat. Adapun yang akan menjadi bagian pembahasan adalah; asal-usul pesantren, sistem pendidikan di dunia pesatren, dan pengaruh pendidikan Barat terhadap modernisasi di dunia pesantren.
Karena sedikitnya literatur yang membahas tentang pesantren, maka penulis di samping merujuk pada study kepustakaan, terpaksa memberanikan untuk memberikan iterpretasi dan kesimpulan-kesimpulan, berdasarkan pengamatan lapangan. Sedikit banyak penulis mengetahui tentang pesantren karena penulis di lahirkan, di didik, dan di besarkan di lingkungan ini. Tentu ini akan mempengaruhi obyektifitas dari analisis ini.tetapi seperti kata Edmount Hussel, obyektifitas
B. Asal Usul Pesantren
Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih di kenal dengan nama pondok. Istilah ini di pakai untuk maksud nama dari asrama-asrama yang di tempati oleh para santri. Tampaknya bahasa ini berasal dari ( bahasa arab ) funduq, yang berarti hotel, penginapan atau asrama.[3]
Berikutnya istilah tersebut berubah menjadi pesantren. Tetapi di Jawa tampaknya istilah yang lebih populer dipergunakan secara umum dengan menyebut keduanya, yaitu Pondok pesantren.[4] Pesantren berasal dari kata santri dengan mendapat imbuhan “pe” dan “an” yang berarti tempatnya para santri. Prof. John berpendapat, bahwa istilah santri berasal dari bahasa tamil, yang berarti guru mengaji.[5] Sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah berasal dari shastri, yang dalam bahasa India-nya berarti orang yang tahu akan kitab-kitab suci Agama Hindu.[6] Dari sini maka dipakailah istilah pesantren atau pondok pesantren dalam pengertian,” sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa dan Madura “. Yang memiliki sistem dan tradisi-tradisi khusus, serta adanya elemen-elemen pokok, yaitu; pondok / asrama, masjid / musholla, kiyahi dan santri.[7]
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikann, secara terminologis dapat di jelaskan bahwa pendidikan dalam pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India.[8] Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran Agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil alih oleh Islam.[9] Istilah pesantren sendiri seperti telah di sebutkan di atas, mengaji dan nama-nama seperti istilah pondok dan langgar di Jawa, Surau di Minangkabau dan Meunasah, Dayah, dan rangkang di Aceh bukanlah merupakan istilah Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di India.[10]
Di samping berdasarkan alasan terminologi, persamaan bentuk antara pendidikan Hindu di India, dan pesantren dapat dianggap sebagai petunjuk untuk menjelaskan asal-usul sistem pendidikan pesantren. Tesis yang menyatakan bahwa sistem pendidikan pesantren berasal dari India tersebut dikuatkan oleh Soegarda Poebakawatja dengan beberapa alasan, antara lain; adanya penyerahan tanah oleh negara untuk kepentingan Agama, seluruh sistam bersifat Agama, guru tidak mendapat gaji, penghormatan besar terhadap guru dan murid yang pergi meminta-minta keluar lingkungan pondok. Terkait dengan anggapan murid yang pergi keluar lingkungan pondok menurut penulis adalah lemah. Hal itu benar untuk khusus Surau di Minangkabau.
Bila pendapat Poebakawatja itu di anggap benar,maka hal-hal tersebut semua ada kesamaan tradisi yang berkembang sistem pendidikan Agama Hindu di India.dan menurutnya, ternyata sistem pendidikan yang ada di pesantren sebagaimana yang ada di Indonesia tidak di jumpai dalam sistem pendidikan yang asli di Makkah.[11] Akhirnya ada satu kesamaan lagi antara sistem pendidikan dalam agama Hindu dengan pesantren, yaitu adanya kesamaan tradisi masalah letak pesantren yang biasanya berada di luar kota.[12]
Beberapa alasan yang menyebutkan bahwa pesantren dan sistem pendidikan islam tradisional ini berasal dari tradisi Hindu-India tersebut sebenarnya tidak cukup kuat. Sebab ternyata sistem pendidikan dan tradisi yang ada di dunia pesantren ini dapat di ketemukakan di dunia Islam yang lain.[13] begitu juga kebiasaan para santri untuk sering mengadakan perjalanan yang ditemukan dalam tradisi Islam.[14]
Mahmud Yunus mengatakan asal-usul pendidikan individual yang dipergunakan di pesantren, serta pendidikan yang dimulai dengan pelajaran Bahasa Arab, ternyata dapat di ketemukakan di Bagdad ketika menjadi pusat dan ibu kota Wilayah Islam.[15]
Begitu juga dengan tradisi penyerahan tanah oleh negara untuk kepentingan agama, dapat diketemukakan dalam institusi wakaf. Selanjutnya untuk unsur-unsur yang lainya dapat diketemukakan dalam kebudayaan Islam.[16]
Sistem akulturasi dalam penyebaran agama ilsam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, akhirnya menghendaki assimilasi budaya. Seperti penggunaan istilah pondok atau pesantren yang memang bukan dari itilah Arab. Walaupun mungkin saja istilah tersebut berasal dari bahasa Arab “funduk” yang berarti penginapan atau hotel, dengan maksud penginapan untuk para santri. Demikian juga pesantren atau santri, yang oleh kebanyakan santri di ambil sebagai singkatan dari kata “ Insan dan kata tri”. Insan berarti Manusia (Bahasa Arab), dan tri, berarti tiga (bahasa sansekerta. Inilah profil dan figur santri, yaitu manusia yang konsisten akan tiga ajaran pokok dalam Islam yaitu Iman, Islam dan Ihsan.[17]
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, biasa terbentuk secara alamiyah. Ia mulai berdiri karena adanya seorang figur guru yang layak menjadi Kiyai, baik karena ilmu agamanya, maupun akhlaq dan kharisma yang dimilikinya. Karena calon kiyai tersebut dipercaya oleh masyarakat untuk mengajar agama (mengaji ), maka akhirnya banyak orang tua yang menitipkan anak-anaknya untuk mengaji kepadanya.[18] Dari sini akhirnya sedikit demi sedikit orang yang mengaji kepadanya bertambah banyak. Akhirnya didirikanlah tempat mengaji yang layak (semula bisa berupa langgar atau masjid). Karena tuntutan materi pengajian , maka akhirnya didirikan tempat yang lebih khusus, termasuk asrama atau pondok sebagai tempat menginap para santri. Atau bahkan tempat tinggal para santri yang rumahnya jauh dari dari pesanten. Demikian seterusnya perkembangan pesantren lembaga pendidikan tradisional berkembang atas swadaya keluarga pesantren dan masyarakat pendukungnya.[19]
Sementara itu menurut Zamakhsari Dhofier, bahwa elemen-elemen pokok sebuah pesantren terdiri dari lima hal, pondok, Masjid, santri, pengajaran kitab-kitab islam klasik, dan adanya Kiyai. Ini berarti bahwa jika suatu lembaga pengajian telah berkembang sehingga memiliki ke-lima elemen tersebut, maka statusnya akan berubah menjadi pesantren.[20]
C. Sistem Pendidikan di Dunia Pesantren
Dari data yang dihimpun oleh Departemen Agama, tahun 1984 / 1985 ternyata jumlahnya 6.239 buah, dengan 1.084.801 orang santri pesantren yang didirikan sebelum tahun 1900-an ada sekitar 7 %, antara tahun 1900 – 1945-an ada sekitar 25 %, dan pesantren yang didirikan sesudah tahun 1945 tercatat sekitar 62 %. Pertumbuhan pesantren – pesantren ini tidak hanya di desa-desa, akan tetapi justru lebih banyak di kota-kota. Suatu gejala yang menarik untuk disampaikan disini adalah pesantren-pesantren tua yang didirikan sebelum tahun 1900-1930-an pada umumnya memiliki jumlah santri yang besar, rata-rata mereka mengasuh sekitar 1500-2000 santri ke-atas. Sedangkan pesantren-pesantren muda rata-rata mengasuh 500 orang santri.[21]
Dunia pesantren, sebagai basis pendidikan Islam tradisional, memiliki sistem dan budaya atau tradisi yang berbeda dengan pusat-pusat pendidikan pada umumnya. Dari berbagi hasil studi terdahulu mengenai unsur-unsur sistem pendidikan pesantren dapat dikelompokkan sebagai berikut:[22]
1. Aktor atau pelaku: Kiyai, ustadz, santri, dan pengurus.
2. Sarana perangkat keras: Masjid, rumah Kiyai, rumah atau asrama ustadz, pondok tau asrama santri, gedung sekolah atau madrasah,tanah untuk olah raga, pertanian atau peternakan, empang, makan dan sebagainya.
3. Sarana/perangkat lunak:[23] tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, perpustkaan, pusat dokumentasi dan penerangan, cara transmissi ilmu –sorogan, bandongan, dan Halaqah- ketrampilan, pusat pengembangan masyarakat dan alat-alat pendidikan lainnya.
4. Sistem tata nilai. [24]
kelengkapan unsur-unsur tersebut berbeda-beda di antara pesantren yang satu dengan yang lain.ada pesantren yang secara lengkap dan memiliki sejumlah besar unsur-unsur tersebut,dan ada pesantren yang hanya unsur-unsur dalam jumlah yang kecil dan tidak lengkap.
Sebelum sistem pendidikan sekolah disebarkan sampai ke pelosok-pelosok desa, pada permulaan abad ke-20, pesantren memeng dunia tersendiri, mempunyai adat-istiadat dan norma tersendiri. Pada saat itu pesantren belum mengalami persaingan yang jelas. Persaingan baru muncu dengan berdirinya sekolah-sekolah, ketika terjadi elemen baru dan berbeda. Posisi yang khas terhadap sistem sekolah dan masyarakat yang mendukung sistem tersebut. [25]
Profil pesantren sebelum masa pembaharuan memang cukup unik dan menarik. Ia adalah sebuah lembaga yang benar-benar khas, baik dalam arti manejemennya, kurikulum, sarana dan prasarana, maupun adat-istiadat yang dipeganginya.[26]
Para aktor pengendali menejemen dalam sebuah pesantren, seperti para usrtadz, santri dan pengurus, semuanya tergantung pada kekuasaan mutlak seorang Kiyai.[27] karena seorang Kiyai adalah orang yang sangat dipercaya, baik karena ilmu dan kedalaman agamanya, maupun karena keramahannya. Ia menjadi Kiyai bukan karena penetapan SK. Penguasa. Akan tetapi karena masyarakat butuh bimbingannya, terutama dalam bidang keagamaan. Para santri datang sendiri, bukan karena diundang atau promosi. Mereka memang benar-benar datang sepenuhnya menyerahkan diri untuk dibimbing oleh seorang Kiyai. Dri murid-murid yang telah mampu dan telah dianggap senior, maka diberilah mereka tugas sebagai pengurus. Di samping mereka masih tetap mendapat bimbingan tentang ilmu yang lebih tinggi, biasanya ilmu tasawuf.[28]
Pengurus sebuah pesantren biasanya diketuai oleh seorang lurah pondok. Keperguruan inilah yang sebenarnya mengatur pelaksanaan menegemen pesantren. Mereka yang merumuskan tentang tata tertib, dalam pemondokan dan pengajian. Seluruh aturan yang telah ditetapkan harus direstui oleh Kiyai dianggap sebagai telah layak mengajar diberi kesempatan membantu mengajar, maka jadilah mereka sebagai ustdz. Disamping biasanya sebagai ustadz-ustadz juga diambil dari keluarga Kiyai (keponakan, anak, atau menantunya yang telah manyelesaikan pendidikannya di pesantren lain ), sehingga nyaris tidak ada ustadz yang berasal dari orang lain.[29]
Posisi Kiyai yang demikian sentral dan kuat itulah, yang menjadikan keberadaan Kiyai sangat kharismatik dan ditaati. Ketaatan para santri pada khususnya dan masyarakat di sekitar pesantren pada umumnya, di samping karena keberadaannya tersebut juga karena faktor-faktor lain, seperti keteladanan dan akhlaq al-karimah seorang Kiyai, doktrin adab para santri terhadap ajaran dan syariat Islam. Hal yang juga menambah kewibawaandan besarnya kekuasaan Kiyai atas pesantren adalah karena biasanya pesantren itu memang berdiri di atas tanah milik Kiyai dan didirikan atas nama pribadiseorang Kiyai. Walaupun ada juga yang berasal dari tanah waqaf.[30]
Dari segi sarana perangkat kerasnya, pesantren sebelum masa pembaharuan adalah suatu lembaga yang sangat sederhana. Asrama santri yang biasanya di sebut dengan pondok, terbuat dari bambu yang merupakan kombongan atau gubuk-gubuk yang besar. Dengan perlengkapan tempat masak,mandi,cuci, dan WC yang sangat sederhana. Bahkan konon sebagian besar pesantren terdahulu tidak mempunyai MCK, karena fungsiny sudah di berikan kepada sungai yang ada di dekat pesantren tersebut. Sehingga wajar kalau di sebut santri pada zaman dahulu pasti pernah gudiken ( penyakit kulit).[31]
Demikian juga halnya rumah Kiyai juga sangat sederhana, karena memang yang di ajarkan Kiyai adalah pola hidup zuhud dan warak dalam hal dunia.[32] tempat belajar mengaji para santri juga sekedar ruangan besar yang tidak ada bangku dan kursinya, bahkan kadang tidak ada juga papan tulisnya.karena memang sistem pendidikan di pesantren adalah mengkaji kitab-kitab klasik dengan sistem pembacaan oleh Kiyaidan santri mendengarkannya.[33]
Gedung (lokal-lokal )sekolah tidak ada karena sistem yangberkembang bukan sistem klasik,tetapi sistem sorogan dan bandongan atau weton.[34] Sedangkan lahan untuk media latihan dan ketrampilan para santri sepenuhnya berada dalam tanggungan masyarakat di sekitar pesantren atau tanah dan uasah pribadi kiyai.
Dalam hal sarana perangkat lunak, tidak kalah sederhananya dengan sarana fisik yang telah di terangkan. Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian yng beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat berkhidmat kepada masyarakatdengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetpi “rasul”, yaitu menjadi pelayan masyarakat yaitu sebagaimana kepribadsian Nabi Muhammad ( pengikut Sunnah Nabi ) mampu berdiri sendiri, bebas dan ketug dalam kepribadian,menyebarkan agama atau menegakkan Islamuntuk kejayaan umat Islam, yang biasa di sebut ‘Izzu al-islam wa al- Muslimin,dan mencapai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Secara singkat tetapi ideal, kepribadian yang ingin di tuju dalah kepribadian muhsin,bukan sekedar muslim. [35]
Kurikulum yang ada biasanya di targetkan pada pengusahaan kitab-kitab klasik ( bukan kajian tematik ), yang meliputi kitab-kitab fiqih,tasawuf,dan Tauhid. Dengan sistem pengajian sorogan,bandongan, halaqoh, dan hafalan. Sistem penilaiannya lebih di tekankan pada akhlak dalam kehidupan sehari-hari yang berwujud pada pengalaman syari’at dan adab-adab pada Kiyai serta para guru dansesama santri, di samping pengaruh dan kasuksesannya nanti di masyarakat.[36] Sedangkan perpustakaan dan dokumentasinya tidak banyak di ketemukan. Adapun sistem pengajaran yang di pakai biasanya terdiri dari beberapa macam yaitu: sistem sorogan, halaqoh, musyawaroh,dan hafalan.[37]
Sorogan artinya sistem belajar secara individual dengan cara santri berhadapan dengan ustadz. Pada saat itu terjadilah interaksi dan saling mengenal di antara keduanya. Bandongan artinya belajar sacara berkelompok yang diikuti oleh sesama santri,seperti kuliah umum. Biasanya Kiyai menggunakan bahasa setempat dan menerjemahkan kalimat demi kalimat yang ada didalam kitab, dengan disertai penjelasan sesudahnya.sedangkan halaqah adalah diskusi yang diselenggarakan untuk memahami kandungan kitab tertentu , bukan untuk mempertanyakan benar salahnya kandungan kitab,melainkan untuk memahami apa yang dimaksud oleh kitap itu. [38]
Mastuhu dalm Dinamika Sistem Pendidikan pesantren menyebutkan ada 13 prinsip dalam sistem pendidikan pesantren, yaitu: teosentrik, suka rela dalam mengabdi, kearifan, kesederhanaan, kolektifitas, mengatur kegiatan bersama, kebebasan terpimpin, mandiri, mencari ilmu dan mengabdi, mengamalkan ajaran-ajaran agama, tanpa ijazah, dan restu Kiyai.[39] inilah nilai-nilai dasar yang mengikat tradisi dalam sistem pendidikan pesantren.
D. Pendidikan Barat dan pengaruhnya dalam modernisasi
Dunia pesantren
Kolonialisme di Indonesia yang berlangsung sejak abad XVI Mtidak banyak memberikan pengaruh terhadap modernisai umat Islam Indonesia hal ini lebih banyak di sebabkan karena mayoritas umat Islam Indonesia ”kaum tradisionalis bersifat istolasemen dan anti pati terhadap peradaban barat bahkan termasuk dalam rangka defensif terhadap serangan budaya barat kaum tradisionalis banyak mendirikan lembaga pendidikan yang bertujuan menyelamatkan tradisi dan kebudayaan, yang di sebut pondok ( pondok pesantren ). Baru kemudian setelah munculnya “ lawan baru” kaum modernis yang mendesak dan turut menyerang peradaban dan tradisi keislamannya, maka pada tahun 1926 berdirilah Nahdlatul Ulama’ yang menandai adanya kebangkitan kaum ulama’ tradisionalis.[40]
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional begitu kukuhnya dalajm menjaga trdisi dan kebudayaan keagamaan sehingga baru pada abad XX M., Pesantren sebagai lambaga pendidikan mengalami modernisasi dan pergeseran tata nilai reaksi terhadap budaya Barat. Hal yang mengusik modernisasi di dunia pesantren, bukan karena budaya Barat secara umum,termasuk ilmu pengetahuan dan tehnologi. Akan tetapi adanya sekolah-sekolah model Barat ( sekolah umum ), yaitu mulai banyak di tebarkan oleh Belanda ke berbagai desa di seluruh pelosok negeri.[41]
Interaksi umat Islam Indonesia dengan sistem pendidikan Barat melalui tiga jalur; pendidikan yang di selenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui guru-guru agama yang di datangkan dari Afrika Utara dan Timur tengah oleh masyarakat Arab di Indonesia, serta ulama’-ulama’ Indonesia yang belajar di luar negeri.[42] tetapi interaksi yang paling besar pengaruhnya adalah setelah adanya sekolah-sekolah umum yang di sebarkan di pelosok-pelosok desa olh kolonial Belanda pada abad ke-20.[43]
Pendidikan kolonial ini sangat berbeda dengn islam tradisional Indonesia, bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus lagi dari segi tujuannya.Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial ini tujuannya terpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi, yaitu pendidikan umum. Sedangkan lembaga pendidikan Islam (pesantren) hanya menekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi pengamalan agama. [44]
Dunia pesantren mulai menerima pembaharuan sistem pendidikan setelah kedatangan para ulama’ yang belajar di Makkah. Para ulama’ seperti; KH.Abdul Wahab Hasbullah, KH. Moh. Ilyas, dan KH.Hasyim Asy’ari (ketiganya dari Jombang Jawa Timur) serta KH. Abdul Halim dari Majalengka Jawa Barat, adalah tokoh-tokoh pembaharu sistem pendidikan islam tradisional (pesantren). Mereka semua adalah alumni-alumni Makkah sebagaimana juga KH.Ahmad dahlan (pendiri Muhammadiyah).
KH.Abdul Wahab Hasbullah adalah tokoh pertama yang mendirikan lembaga pendidikan di lingkungan pesantren, dengan sistem sekolah barat (klasikal) pada tahun 1914. Setelah kedatangannya dari belajar di Makkah. Ia juga mendirikan organisasi “Jam’iyyah Nahdlotul wathon” bersama KH.Mas Manshur. Organisasi ini bertujuan memperbaiki mutu pendidikan agama, dengan suatu sistem yang lebih tersusun lebih baik. Antara lain dengan model klasikal. Maka mulai saat itu berkembanglah sistem klasikal di lingkungan pendidikan tradisional. Termasuk dari pengaruh ini berdirinya Madrasah Salafiyah di Tebuireng yang didirikan oleh KH.Hasyim Asy’ari tahun 1916.[45]
[1]Direktur Pascasarjana IAIT Kediri, Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya.
[2] M. Dawam Rahandjo, Dunia pesantren “ Pesantren dan Pembaharuan”, dalam M. Dawam Rahardj
( Ed.), pesantren dan pembaharuan,jakarta: LP3ES, 1974, hlm. 1 .dalam percakapan sehari-hari istilah pondok sampai sekarang ini masih tetap lebih populer, .hanya dalam bahasa tertulis memang sekarang ini lebih biasa di sebut pondok pesantren.
[3] Zamakhsari Dhofier, Tradisi pesantren: studi tentang pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES,1982, hlm. 18.
[4] Sekitar tahun 1985 berdiri jaringan komunikasi antara pemerintah ( pemda tingkat II) , dengan pondok pesantren yang di sebut PIPP, Pusat Informasi Pondok pesantren. Di antara pusatnya adalah Pondok Pesantren Al-Hikmah kediri Jatim.
[5] Zamakhsari Dhofier, Loc. Cit.
[6] C.C. Berg., “ Indonesia “, dalam H.A R. Gibb (Ed ), Wither Islam? A Survey of Modern Movement in the Moslem World,, London : 1932, hlm.330. bandingkan dengan Chaturperdi dan Tiwari B.N., A-Practical Hindi-English Dictionary, Delhi : Rashtraprinters, 1970. hlm. 627.
[7] Sedangkan Zamakhsari Dhofier menambahkan elemen pokok dalam sebuah pesantren yaitu adanya pesangajaran kitab-kitab Islam klasik. Baca Zamakhsari Dhofier, OP. Cit, hlm. 44.
[8] inilah pendapat sebagian sarjana-sarjana modern ( pengamat).
[9] lihat Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH.A. Wahid hasyim dan Karangan tersiar,Jakarta :Bulan Bintang, 1957,hlm .43.
[10]Lihat, Karel A. Steenbrink,Pesantren Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,Jakarta:LP3ES, 1986, hlm.21.
11Ibid., menjadikan sistem pendidikan di Makkah sebagai parameter pendidikan di pesantren sebenarnya kurang tepat, sebelum para ulama’ nusantara belajar ke Mekkah ( abad XVII – XVIII M.),
dan Islam masuk ke kawasan nusantara tidak ada data yang menyebutkan berasal dari Makkah atau kawasan Hijaz pada umumnya. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII , Bandung : Mizan,1994, hlm.24.
[12] Karel A. Steenbrink, LOC.Cit.
[13] Sistem pengajaran dan tradisi pada abad XIII-XIV jelas sudah banyak berkembang, seperti Makkah, Madinah, Yaman dan India. Khususnya di Haramain (makkah dan Madinah ) berkembang sistem-sistem pengajaran Halaqah, demikian pula di sini telah ada model ribath ( pondok ).lihat Azyumardi Azra,OP.CIT., hlm. 79- 81.
[14] Adapun tradisi dan sistem yang berkembang di lingkungan pesantren adalah sangat dekat – untuk tidak mengatakan identik- dengan tradisi, sistem nilai yang berkembang dan dipegangi di kalangan penganut mazhab tasawuf ( Tarekat Islam ).baca kitab pegangan santri tentang tata cara penuntut ilmu, Zarnuji, Ta’lim Al-muta’allim , kudus: menara kudus, 1963. bandingkan dengan kitab pegangan Abd Alwahhab Al-Syarani, Al-Anwar Al-qudsiyah fi ma’rifati Al- syafiyah, Jakarta: Dinamika berkah utama, t.th.
[15] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:Pustaka Muhammadiyah, 1960, hlm.31. Demikian juga di Baghdad juga telah berkembang ribath-ribath (pemondokan kaum sufi) pengikut ajaran Syekh Abdul Qadir al-Jailani, sejak tahun 1092 M. Bahkan Madrasah dan ribath Tarekat Qadiriyah ini semenjak abad XII M, telah menyebar ke berbagai daerah islam, seperti Maroko, Mesir, Arabia, Turkestan dan India. Baca dalam artikel, Kadiriya, dalam The Encylopedia of Islam, Leiden, E.J.Brill, 1978, Vol.IV. hlm. 202-3.
[16] Seperti yang disepakati kebanyakan ahli sejarah Islam, bahwa awal masuknya Islam di kawasan Nusantara adalah awal abad XII M atau akhir abad XIII M.dengan corak Islam sufistik. Oleh para da’I yang dikenal dengan sebutan wali songo. Dengan tanpa bermaksud menafikan kesamaan dengan tradisi Hindu India. Penulis berkesimpulan bahwa asal-usul sistem pendidikan pesantren adalah dari tradisi Islam, yaitu tradisi pendidikan dalam Tasawuf Islam yang berasimilasi dengan budaya setempat. Untuk elaborasi baca Nurcholis majid, “ Pesantren dan Tasawuf “, dalam M. Dawam Raharjo (E.d.), Pesantren dan pembaharuan, jakarta : LP3ES, 1974, hlm. 104
[17] Istilah santri sebagai singkatan kata tersebut tidak penulis jumpai dalam literatur-literatur, tetapi dijumpai dalam pesantren dan masyarakat santri (Pedesaan) di Jawa Timur.
[18]Soejoko Prosojo dkk, Profil Pesantren:Laporan Hasil Penelitian Pesantren al-Falak dan Delapan Pesantren lainnya di Bogor,Jakarta: LP3ES,1975, hlm.11-2.
[19] Penulis tidak pernah mendengar didirikan terlebih dahulu kemudian mencari santri atau Kiyai (di Jawa ), tetapi penulis sendiri pernah di tawari untuk mengasuh “pesantren” yang didirikan dengan modal proyek, yaitu di Kabupaten Joneponto Sulsel. Padahal tidak ada figur Kiyainya. Untuk lebih jauh baca Suyoto, “Pon-pes dalam Alam Pendidikan Nusantara, Dawam Raharjo ( Ed. ), Op.Cit,.hlm. 65.
[20] Zamahsyari Dhofier, Loc.Cit.
[21] Beberapa penelitian terdahulu itu antara lain, Soejoko Prasojo dkk,Profil Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1972, Abdurrahman wahid, Bunga rampai Pesantren, Jakarta: Darman Bhakti,1399H; Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren,Jakarta:LP3ES, 1982.
22Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS 1994, hlm.24
[23]Sarana perangkat lunak mengacu kepda pengertian alat-alat yang bersifat non fisik atau abstrak, sedangkan perangkat keras mengacu kepada pengertian sarana atau perangkat yang bersifat fisik.
[24]Sistem dan tatanilai adalah sesuatu yang dijadikan pegangan untuk terbentuknya sebuah tradisi yang meliputi prinsip-prinsip dan norma –norma dalam institusi di antara keluarga pesantren.
[25]Karel A.Steenbrink, Op.Cit. hlm.208.
[26] Abdurrahman wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, dalam dawam raharjo, (Ed).Op.Cit. hlm.39-44.
[27]Mastuhu, Op.Cit. hlm.66.
[28] Bahkan kebanyakan kiyahi di jawa beranggapan, bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil.Kiyai memiliki kekuasaan dan wewenang “mutlak” dalam aktifitas dan kehidupan di pesantrennya. Lihat Zamakhsari Dhofir, Op.Cit. hlm.56.
[29] Karena itu betapapun demokratisnya susunan kepengurusan dan kepemimpinan di pesantren, masih terdapat jarak yang tak terjembatani antara kiyai dan keluarganya di satu pihak dengan para asisten serta santri di pihak lain. Kiyai bukan primus interpreses, melainkan sebagai pemilik tunggal (ditektur Eigeman). Jadi kedudukan yang dipegang seorang kiyai adalah kedudukan ganda; Sebagai pengasuh dan sekaligus sebagai pemilik pesantren. Baca, Abdurrahman wahid, “Pesantren sebagai subkultur”, dalam Dawam Rahardjo, (Ed),Op.Cit. hlm.46.
[30]Sudjoko Prasodjo, Op.Cit. hlm.12.
[31] Cerita Kiyai Aqib Umar Kelutan Ngronggot Nganjuk (84)’alumni pesantren Termas Pacitan Jawa Timur (1930- 1940)’ teman “senior” prof. Dr Mukti Ali ,mantan Mentri Agama RI .
[32] lihat Abdurrahman Wahid ”pesantren sebagai subkultur “, dalam M.Dawan Raharjo, (Ed),hlm.42.
[33] Pesantren dengan model seperti ini juga masih banyak ditemukan di pesantren-pesantren kecil di jawa timur.
[34]Pengajian-pengajian model ini biasanya diselenggarakan di berbagai tempat secara acak. Ada yang di aula pondok, di dalam masjid, di serambi masjid, di beranda rumah kiyai dan sebagainya.
[35]Tujuan ini merupakan rumusan para kiyai “modern” . Lihat Mastuhu, Op.Cit. hlm. 55-6. Tetapi sepengetahuan penulis, tujuan pesantren adalah ibadah semata. Kiyai mengajar karena ibadah, dan santri belajar juga karena ibadah.
[36]Mastuhu, Op.Cit. hlm.25. Abdurrahman wahid,”Pesantren Sebagai Sukultur” dalam Dawam Raharjo, Op.Cit. hlm. 41.
[37]Mastuhu, Loc.Cit.
[38]Istilah-istilah tersebut tampaknya merujuk kepada istilah-istilah pesantren Jawa/ Madura. Sementara di tempat lain belum didapatkan informasinya.
[39]Mastuhu, Op.Cit. hlm.62-6.
[40]Karel A.Steenbrink, Op.Cit.hlm.211. M.Ishom Hadzik, “Naluri Politik Pasca Khiththah”, dalam S.Sinansari (Ed), NU Khithah dan Godaan Politik, Bandung:mizan, 1994, hlm.87.
[41]Karel A. Steenbrink, Op.Cit, hlm.208.
[42]Di antara guru agama (ulama’) yang didatangkan dari Timur Tengah dan mengadakan pembaharuan di Indonesia adalah Syekh Ahmad al-Syurkati: Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia1900-1942, Jakarta:LP3ES, 1982, hlm.73.
[43]Pengaruh itu begitu kuat, tampaknya karena pendidikan itu banyak didirikan di basis-basis pesantren pedesaan. Yaitu sekolah ongko 1 dan sekolah ongko 2 di samping HIS (sekolah khusus anak pribumi dari kalangan atas).
[44]Karel A.Steenbrink, Op.Cit, hlm. 24.
[45]Biografi KH.Abdul Wahab Hasbullah selengkapnya dapat dibaca dalam, Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit. hlm. 24-7.Karel A.Steenbrink, Op.Cit, hlm. 65-9. A. Pendahuluan
Bangsa Eropa semenjak awal abad XVI M, telah memperkenalkan budaya barat kepada umat Islam Indonesia. Bangsa Eropa (Bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda)
, di mata masyarakat Islam pada saat itu adalah lambang kekafiran dan sosok figur penjajah yang sangat berbahaya bagi peradaban islam. Berangkat dari cara pandang tersebut, maka semenjak awal kedatangannya telah terjadi perlawanan dari umat Islam. Berbagai peperangan terjadi antara penjajah eropa dengan raja-raja Islam di berbagai wilayah di Indonesia.
Sikap antipati dan menutup diri dari semua yang berbau Barat diterima oleh kebanyakan umat Islam Indonesia sebagai suatu pewarisan nilai-nilai perjuangannya. Hal ini terutama dipegangi oleh kaum tradisional, yang membedakan diri dan menyelamatkan tradisi yang dimilikinya sebagai suatu yang harus di murnikan dari adanya pengaruh budaya kaum penjajah. Tanpa terlebih dahulu melihat kemungkinan adanya unsur-unsur kebaikan yang dapat dijadikan masukan dan pelajaran bagi kemajuan tradisi dan budaya masyarakatnya.
Pesantren selain sebagai lembaga pendidikan umat Islam yang tertua, sekaligus berfungsi sebagai cagar masyarakat bagi tradisi umat Islam Indonesia, khususnya di pulau Jawa dan Madura. Begitu kukuhnya ia mempertahankan diri atas citra dirinya. sehingga sementara pengamat menganggap bahwa di sana.[2] pesantren adalah symbol keterbelakangan dan kejumudan dan ia tidak ubahnya seperti lembaga sosial dan perkampungan suku Indian di Amerika, atau suku Aborigin di Australia.
Makalah sederhana ini akan menguraikan tentang terjadinya pembaharuan dunia pesantren, yaitu pendidikan islam tradisional berikut dengan masyarakat yang menyangga keberadaan lembaga ini. Pemaparan ini sebagai upaya untuk menjelaskan bahwa di dunia pesantren juga telah terjadi pembharuan. suatu proses modernisasi karena pengaruh peradaban barat. Adapun yang akan menjadi bagian pembahasan adalah; asal-usul pesantren, sistem pendidikan di dunia pesatren, dan pengaruh pendidikan Barat terhadap modernisasi di dunia pesantren.
Karena sedikitnya literatur yang membahas tentang pesantren, maka penulis di samping merujuk pada study kepustakaan, terpaksa memberanikan untuk memberikan iterpretasi dan kesimpulan-kesimpulan, berdasarkan pengamatan lapangan. Sedikit banyak penulis mengetahui tentang pesantren karena penulis di lahirkan, di didik, dan di besarkan di lingkungan ini. Tentu ini akan mempengaruhi obyektifitas dari analisis ini.tetapi seperti kata Edmount Hussel, obyektifitas
B. Asal Usul Pesantren
Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih di kenal dengan nama pondok. Istilah ini di pakai untuk maksud nama dari asrama-asrama yang di tempati oleh para santri. Tampaknya bahasa ini berasal dari ( bahasa arab ) funduq, yang berarti hotel, penginapan atau asrama.[3]
Berikutnya istilah tersebut berubah menjadi pesantren. Tetapi di Jawa tampaknya istilah yang lebih populer dipergunakan secara umum dengan menyebut keduanya, yaitu Pondok pesantren.[4] Pesantren berasal dari kata santri dengan mendapat imbuhan “pe” dan “an” yang berarti tempatnya para santri. Prof. John berpendapat, bahwa istilah santri berasal dari bahasa tamil, yang berarti guru mengaji.[5] Sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah berasal dari shastri, yang dalam bahasa India-nya berarti orang yang tahu akan kitab-kitab suci Agama Hindu.[6] Dari sini maka dipakailah istilah pesantren atau pondok pesantren dalam pengertian,” sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa dan Madura “. Yang memiliki sistem dan tradisi-tradisi khusus, serta adanya elemen-elemen pokok, yaitu; pondok / asrama, masjid / musholla, kiyahi dan santri.[7]
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikann, secara terminologis dapat di jelaskan bahwa pendidikan dalam pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India.[8] Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran Agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil alih oleh Islam.[9] Istilah pesantren sendiri seperti telah di sebutkan di atas, mengaji dan nama-nama seperti istilah pondok dan langgar di Jawa, Surau di Minangkabau dan Meunasah, Dayah, dan rangkang di Aceh bukanlah merupakan istilah Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di India.[10]
Di samping berdasarkan alasan terminologi, persamaan bentuk antara pendidikan Hindu di India, dan pesantren dapat dianggap sebagai petunjuk untuk menjelaskan asal-usul sistem pendidikan pesantren. Tesis yang menyatakan bahwa sistem pendidikan pesantren berasal dari India tersebut dikuatkan oleh Soegarda Poebakawatja dengan beberapa alasan, antara lain; adanya penyerahan tanah oleh negara untuk kepentingan Agama, seluruh sistam bersifat Agama, guru tidak mendapat gaji, penghormatan besar terhadap guru dan murid yang pergi meminta-minta keluar lingkungan pondok. Terkait dengan anggapan murid yang pergi keluar lingkungan pondok menurut penulis adalah lemah. Hal itu benar untuk khusus Surau di Minangkabau.
Bila pendapat Poebakawatja itu di anggap benar,maka hal-hal tersebut semua ada kesamaan tradisi yang berkembang sistem pendidikan Agama Hindu di India.dan menurutnya, ternyata sistem pendidikan yang ada di pesantren sebagaimana yang ada di Indonesia tidak di jumpai dalam sistem pendidikan yang asli di Makkah.[11] Akhirnya ada satu kesamaan lagi antara sistem pendidikan dalam agama Hindu dengan pesantren, yaitu adanya kesamaan tradisi masalah letak pesantren yang biasanya berada di luar kota.[12]
Beberapa alasan yang menyebutkan bahwa pesantren dan sistem pendidikan islam tradisional ini berasal dari tradisi Hindu-India tersebut sebenarnya tidak cukup kuat. Sebab ternyata sistem pendidikan dan tradisi yang ada di dunia pesantren ini dapat di ketemukakan di dunia Islam yang lain.[13] begitu juga kebiasaan para santri untuk sering mengadakan perjalanan yang ditemukan dalam tradisi Islam.[14]
Mahmud Yunus mengatakan asal-usul pendidikan individual yang dipergunakan di pesantren, serta pendidikan yang dimulai dengan pelajaran Bahasa Arab, ternyata dapat di ketemukakan di Bagdad ketika menjadi pusat dan ibu kota Wilayah Islam.[15]
Begitu juga dengan tradisi penyerahan tanah oleh negara untuk kepentingan agama, dapat diketemukakan dalam institusi wakaf. Selanjutnya untuk unsur-unsur yang lainya dapat diketemukakan dalam kebudayaan Islam.[16]
Sistem akulturasi dalam penyebaran agama ilsam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, akhirnya menghendaki assimilasi budaya. Seperti penggunaan istilah pondok atau pesantren yang memang bukan dari itilah Arab. Walaupun mungkin saja istilah tersebut berasal dari bahasa Arab “funduk” yang berarti penginapan atau hotel, dengan maksud penginapan untuk para santri. Demikian juga pesantren atau santri, yang oleh kebanyakan santri di ambil sebagai singkatan dari kata “ Insan dan kata tri”. Insan berarti Manusia (Bahasa Arab), dan tri, berarti tiga (bahasa sansekerta. Inilah profil dan figur santri, yaitu manusia yang konsisten akan tiga ajaran pokok dalam Islam yaitu Iman, Islam dan Ihsan.[17]
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, biasa terbentuk secara alamiyah. Ia mulai berdiri karena adanya seorang figur guru yang layak menjadi Kiyai, baik karena ilmu agamanya, maupun akhlaq dan kharisma yang dimilikinya. Karena calon kiyai tersebut dipercaya oleh masyarakat untuk mengajar agama (mengaji ), maka akhirnya banyak orang tua yang menitipkan anak-anaknya untuk mengaji kepadanya.[18] Dari sini akhirnya sedikit demi sedikit orang yang mengaji kepadanya bertambah banyak. Akhirnya didirikanlah tempat mengaji yang layak (semula bisa berupa langgar atau masjid). Karena tuntutan materi pengajian , maka akhirnya didirikan tempat yang lebih khusus, termasuk asrama atau pondok sebagai tempat menginap para santri. Atau bahkan tempat tinggal para santri yang rumahnya jauh dari dari pesanten. Demikian seterusnya perkembangan pesantren lembaga pendidikan tradisional berkembang atas swadaya keluarga pesantren dan masyarakat pendukungnya.[19]
Sementara itu menurut Zamakhsari Dhofier, bahwa elemen-elemen pokok sebuah pesantren terdiri dari lima hal, pondok, Masjid, santri, pengajaran kitab-kitab islam klasik, dan adanya Kiyai. Ini berarti bahwa jika suatu lembaga pengajian telah berkembang sehingga memiliki ke-lima elemen tersebut, maka statusnya akan berubah menjadi pesantren.[20]
C. Sistem Pendidikan di Dunia Pesantren
Dari data yang dihimpun oleh Departemen Agama, tahun 1984 / 1985 ternyata jumlahnya 6.239 buah, dengan 1.084.801 orang santri pesantren yang didirikan sebelum tahun 1900-an ada sekitar 7 %, antara tahun 1900 – 1945-an ada sekitar 25 %, dan pesantren yang didirikan sesudah tahun 1945 tercatat sekitar 62 %. Pertumbuhan pesantren – pesantren ini tidak hanya di desa-desa, akan tetapi justru lebih banyak di kota-kota. Suatu gejala yang menarik untuk disampaikan disini adalah pesantren-pesantren tua yang didirikan sebelum tahun 1900-1930-an pada umumnya memiliki jumlah santri yang besar, rata-rata mereka mengasuh sekitar 1500-2000 santri ke-atas. Sedangkan pesantren-pesantren muda rata-rata mengasuh 500 orang santri.[21]
Dunia pesantren, sebagai basis pendidikan Islam tradisional, memiliki sistem dan budaya atau tradisi yang berbeda dengan pusat-pusat pendidikan pada umumnya. Dari berbagi hasil studi terdahulu mengenai unsur-unsur sistem pendidikan pesantren dapat dikelompokkan sebagai berikut:[22]
1. Aktor atau pelaku: Kiyai, ustadz, santri, dan pengurus.
2. Sarana perangkat keras: Masjid, rumah Kiyai, rumah atau asrama ustadz, pondok tau asrama santri, gedung sekolah atau madrasah,tanah untuk olah raga, pertanian atau peternakan, empang, makan dan sebagainya.
3. Sarana/perangkat lunak:[23] tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, perpustkaan, pusat dokumentasi dan penerangan, cara transmissi ilmu –sorogan, bandongan, dan Halaqah- ketrampilan, pusat pengembangan masyarakat dan alat-alat pendidikan lainnya.
4. Sistem tata nilai. [24]
kelengkapan unsur-unsur tersebut berbeda-beda di antara pesantren yang satu dengan yang lain.ada pesantren yang secara lengkap dan memiliki sejumlah besar unsur-unsur tersebut,dan ada pesantren yang hanya unsur-unsur dalam jumlah yang kecil dan tidak lengkap.
Sebelum sistem pendidikan sekolah disebarkan sampai ke pelosok-pelosok desa, pada permulaan abad ke-20, pesantren memeng dunia tersendiri, mempunyai adat-istiadat dan norma tersendiri. Pada saat itu pesantren belum mengalami persaingan yang jelas. Persaingan baru muncu dengan berdirinya sekolah-sekolah, ketika terjadi elemen baru dan berbeda. Posisi yang khas terhadap sistem sekolah dan masyarakat yang mendukung sistem tersebut. [25]
Profil pesantren sebelum masa pembaharuan memang cukup unik dan menarik. Ia adalah sebuah lembaga yang benar-benar khas, baik dalam arti manejemennya, kurikulum, sarana dan prasarana, maupun adat-istiadat yang dipeganginya.[26]
Para aktor pengendali menejemen dalam sebuah pesantren, seperti para usrtadz, santri dan pengurus, semuanya tergantung pada kekuasaan mutlak seorang Kiyai.[27] karena seorang Kiyai adalah orang yang sangat dipercaya, baik karena ilmu dan kedalaman agamanya, maupun karena keramahannya. Ia menjadi Kiyai bukan karena penetapan SK. Penguasa. Akan tetapi karena masyarakat butuh bimbingannya, terutama dalam bidang keagamaan. Para santri datang sendiri, bukan karena diundang atau promosi. Mereka memang benar-benar datang sepenuhnya menyerahkan diri untuk dibimbing oleh seorang Kiyai. Dri murid-murid yang telah mampu dan telah dianggap senior, maka diberilah mereka tugas sebagai pengurus. Di samping mereka masih tetap mendapat bimbingan tentang ilmu yang lebih tinggi, biasanya ilmu tasawuf.[28]
Pengurus sebuah pesantren biasanya diketuai oleh seorang lurah pondok. Keperguruan inilah yang sebenarnya mengatur pelaksanaan menegemen pesantren. Mereka yang merumuskan tentang tata tertib, dalam pemondokan dan pengajian. Seluruh aturan yang telah ditetapkan harus direstui oleh Kiyai dianggap sebagai telah layak mengajar diberi kesempatan membantu mengajar, maka jadilah mereka sebagai ustdz. Disamping biasanya sebagai ustadz-ustadz juga diambil dari keluarga Kiyai (keponakan, anak, atau menantunya yang telah manyelesaikan pendidikannya di pesantren lain ), sehingga nyaris tidak ada ustadz yang berasal dari orang lain.[29]
Posisi Kiyai yang demikian sentral dan kuat itulah, yang menjadikan keberadaan Kiyai sangat kharismatik dan ditaati. Ketaatan para santri pada khususnya dan masyarakat di sekitar pesantren pada umumnya, di samping karena keberadaannya tersebut juga karena faktor-faktor lain, seperti keteladanan dan akhlaq al-karimah seorang Kiyai, doktrin adab para santri terhadap ajaran dan syariat Islam. Hal yang juga menambah kewibawaandan besarnya kekuasaan Kiyai atas pesantren adalah karena biasanya pesantren itu memang berdiri di atas tanah milik Kiyai dan didirikan atas nama pribadiseorang Kiyai. Walaupun ada juga yang berasal dari tanah waqaf.[30]
Dari segi sarana perangkat kerasnya, pesantren sebelum masa pembaharuan adalah suatu lembaga yang sangat sederhana. Asrama santri yang biasanya di sebut dengan pondok, terbuat dari bambu yang merupakan kombongan atau gubuk-gubuk yang besar. Dengan perlengkapan tempat masak,mandi,cuci, dan WC yang sangat sederhana. Bahkan konon sebagian besar pesantren terdahulu tidak mempunyai MCK, karena fungsiny sudah di berikan kepada sungai yang ada di dekat pesantren tersebut. Sehingga wajar kalau di sebut santri pada zaman dahulu pasti pernah gudiken ( penyakit kulit).[31]
Demikian juga halnya rumah Kiyai juga sangat sederhana, karena memang yang di ajarkan Kiyai adalah pola hidup zuhud dan warak dalam hal dunia.[32] tempat belajar mengaji para santri juga sekedar ruangan besar yang tidak ada bangku dan kursinya, bahkan kadang tidak ada juga papan tulisnya.karena memang sistem pendidikan di pesantren adalah mengkaji kitab-kitab klasik dengan sistem pembacaan oleh Kiyaidan santri mendengarkannya.[33]
Gedung (lokal-lokal )sekolah tidak ada karena sistem yangberkembang bukan sistem klasik,tetapi sistem sorogan dan bandongan atau weton.[34] Sedangkan lahan untuk media latihan dan ketrampilan para santri sepenuhnya berada dalam tanggungan masyarakat di sekitar pesantren atau tanah dan uasah pribadi kiyai.
Dalam hal sarana perangkat lunak, tidak kalah sederhananya dengan sarana fisik yang telah di terangkan. Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian yng beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat berkhidmat kepada masyarakatdengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetpi “rasul”, yaitu menjadi pelayan masyarakat yaitu sebagaimana kepribadsian Nabi Muhammad ( pengikut Sunnah Nabi ) mampu berdiri sendiri, bebas dan ketug dalam kepribadian,menyebarkan agama atau menegakkan Islamuntuk kejayaan umat Islam, yang biasa di sebut ‘Izzu al-islam wa al- Muslimin,dan mencapai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Secara singkat tetapi ideal, kepribadian yang ingin di tuju dalah kepribadian muhsin,bukan sekedar muslim. [35]
Kurikulum yang ada biasanya di targetkan pada pengusahaan kitab-kitab klasik ( bukan kajian tematik ), yang meliputi kitab-kitab fiqih,tasawuf,dan Tauhid. Dengan sistem pengajian sorogan,bandongan, halaqoh, dan hafalan. Sistem penilaiannya lebih di tekankan pada akhlak dalam kehidupan sehari-hari yang berwujud pada pengalaman syari’at dan adab-adab pada Kiyai serta para guru dansesama santri, di samping pengaruh dan kasuksesannya nanti di masyarakat.[36] Sedangkan perpustakaan dan dokumentasinya tidak banyak di ketemukan. Adapun sistem pengajaran yang di pakai biasanya terdiri dari beberapa macam yaitu: sistem sorogan, halaqoh, musyawaroh,dan hafalan.[37]
Sorogan artinya sistem belajar secara individual dengan cara santri berhadapan dengan ustadz. Pada saat itu terjadilah interaksi dan saling mengenal di antara keduanya. Bandongan artinya belajar sacara berkelompok yang diikuti oleh sesama santri,seperti kuliah umum. Biasanya Kiyai menggunakan bahasa setempat dan menerjemahkan kalimat demi kalimat yang ada didalam kitab, dengan disertai penjelasan sesudahnya.sedangkan halaqah adalah diskusi yang diselenggarakan untuk memahami kandungan kitab tertentu , bukan untuk mempertanyakan benar salahnya kandungan kitab,melainkan untuk memahami apa yang dimaksud oleh kitap itu. [38]
Mastuhu dalm Dinamika Sistem Pendidikan pesantren menyebutkan ada 13 prinsip dalam sistem pendidikan pesantren, yaitu: teosentrik, suka rela dalam mengabdi, kearifan, kesederhanaan, kolektifitas, mengatur kegiatan bersama, kebebasan terpimpin, mandiri, mencari ilmu dan mengabdi, mengamalkan ajaran-ajaran agama, tanpa ijazah, dan restu Kiyai.[39] inilah nilai-nilai dasar yang mengikat tradisi dalam sistem pendidikan pesantren.
D. Pendidikan Barat dan pengaruhnya dalam modernisasi
Dunia pesantren
Kolonialisme di Indonesia yang berlangsung sejak abad XVI Mtidak banyak memberikan pengaruh terhadap modernisai umat Islam Indonesia hal ini lebih banyak di sebabkan karena mayoritas umat Islam Indonesia ”kaum tradisionalis bersifat istolasemen dan anti pati terhadap peradaban barat bahkan termasuk dalam rangka defensif terhadap serangan budaya barat kaum tradisionalis banyak mendirikan lembaga pendidikan yang bertujuan menyelamatkan tradisi dan kebudayaan, yang di sebut pondok ( pondok pesantren ). Baru kemudian setelah munculnya “ lawan baru” kaum modernis yang mendesak dan turut menyerang peradaban dan tradisi keislamannya, maka pada tahun 1926 berdirilah Nahdlatul Ulama’ yang menandai adanya kebangkitan kaum ulama’ tradisionalis.[40]
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional begitu kukuhnya dalajm menjaga trdisi dan kebudayaan keagamaan sehingga baru pada abad XX M., Pesantren sebagai lambaga pendidikan mengalami modernisasi dan pergeseran tata nilai reaksi terhadap budaya Barat. Hal yang mengusik modernisasi di dunia pesantren, bukan karena budaya Barat secara umum,termasuk ilmu pengetahuan dan tehnologi. Akan tetapi adanya sekolah-sekolah model Barat ( sekolah umum ), yaitu mulai banyak di tebarkan oleh Belanda ke berbagai desa di seluruh pelosok negeri.[41]
Interaksi umat Islam Indonesia dengan sistem pendidikan Barat melalui tiga jalur; pendidikan yang di selenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui guru-guru agama yang di datangkan dari Afrika Utara dan Timur tengah oleh masyarakat Arab di Indonesia, serta ulama’-ulama’ Indonesia yang belajar di luar negeri.[42] tetapi interaksi yang paling besar pengaruhnya adalah setelah adanya sekolah-sekolah umum yang di sebarkan di pelosok-pelosok desa olh kolonial Belanda pada abad ke-20.[43]
Pendidikan kolonial ini sangat berbeda dengn islam tradisional Indonesia, bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus lagi dari segi tujuannya.Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial ini tujuannya terpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi, yaitu pendidikan umum. Sedangkan lembaga pendidikan Islam (pesantren) hanya menekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi pengamalan agama. [44]
Dunia pesantren mulai menerima pembaharuan sistem pendidikan setelah kedatangan para ulama’ yang belajar di Makkah. Para ulama’ seperti; KH.Abdul Wahab Hasbullah, KH. Moh. Ilyas, dan KH.Hasyim Asy’ari (ketiganya dari Jombang Jawa Timur) serta KH. Abdul Halim dari Majalengka Jawa Barat, adalah tokoh-tokoh pembaharu sistem pendidikan islam tradisional (pesantren). Mereka semua adalah alumni-alumni Makkah sebagaimana juga KH.Ahmad dahlan (pendiri Muhammadiyah).
KH.Abdul Wahab Hasbullah adalah tokoh pertama yang mendirikan lembaga pendidikan di lingkungan pesantren, dengan sistem sekolah barat (klasikal) pada tahun 1914. Setelah kedatangannya dari belajar di Makkah. Ia juga mendirikan organisasi “Jam’iyyah Nahdlotul wathon” bersama KH.Mas Manshur. Organisasi ini bertujuan memperbaiki mutu pendidikan agama, dengan suatu sistem yang lebih tersusun lebih baik. Antara lain dengan model klasikal. Maka mulai saat itu berkembanglah sistem klasikal di lingkungan pendidikan tradisional. Termasuk dari pengaruh ini berdirinya Madrasah Salafiyah di Tebuireng yang didirikan oleh KH.Hasyim Asy’ari tahun 1916.[45]
[1]Direktur Pascasarjana IAIT Kediri, Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya.
[2] M. Dawam Rahandjo, Dunia pesantren “ Pesantren dan Pembaharuan”, dalam M. Dawam Rahardj
( Ed.), pesantren dan pembaharuan,jakarta: LP3ES, 1974, hlm. 1 .dalam percakapan sehari-hari istilah pondok sampai sekarang ini masih tetap lebih populer, .hanya dalam bahasa tertulis memang sekarang ini lebih biasa di sebut pondok pesantren.
[3] Zamakhsari Dhofier, Tradisi pesantren: studi tentang pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES,1982, hlm. 18.
[4] Sekitar tahun 1985 berdiri jaringan komunikasi antara pemerintah ( pemda tingkat II) , dengan pondok pesantren yang di sebut PIPP, Pusat Informasi Pondok pesantren. Di antara pusatnya adalah Pondok Pesantren Al-Hikmah kediri Jatim.
[5] Zamakhsari Dhofier, Loc. Cit.
[6] C.C. Berg., “ Indonesia “, dalam H.A R. Gibb (Ed ), Wither Islam? A Survey of Modern Movement in the Moslem World,, London : 1932, hlm.330. bandingkan dengan Chaturperdi dan Tiwari B.N., A-Practical Hindi-English Dictionary, Delhi : Rashtraprinters, 1970. hlm. 627.
[7] Sedangkan Zamakhsari Dhofier menambahkan elemen pokok dalam sebuah pesantren yaitu adanya pesangajaran kitab-kitab Islam klasik. Baca Zamakhsari Dhofier, OP. Cit, hlm. 44.
[8] inilah pendapat sebagian sarjana-sarjana modern ( pengamat).
[9] lihat Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH.A. Wahid hasyim dan Karangan tersiar,Jakarta :Bulan Bintang, 1957,hlm .43.
[10]Lihat, Karel A. Steenbrink,Pesantren Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,Jakarta:LP3ES, 1986, hlm.21.
11Ibid., menjadikan sistem pendidikan di Makkah sebagai parameter pendidikan di pesantren sebenarnya kurang tepat, sebelum para ulama’ nusantara belajar ke Mekkah ( abad XVII – XVIII M.),
dan Islam masuk ke kawasan nusantara tidak ada data yang menyebutkan berasal dari Makkah atau kawasan Hijaz pada umumnya. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII , Bandung : Mizan,1994, hlm.24.
[12] Karel A. Steenbrink, LOC.Cit.
[13] Sistem pengajaran dan tradisi pada abad XIII-XIV jelas sudah banyak berkembang, seperti Makkah, Madinah, Yaman dan India. Khususnya di Haramain (makkah dan Madinah ) berkembang sistem-sistem pengajaran Halaqah, demikian pula di sini telah ada model ribath ( pondok ).lihat Azyumardi Azra,OP.CIT., hlm. 79- 81.
[14] Adapun tradisi dan sistem yang berkembang di lingkungan pesantren adalah sangat dekat – untuk tidak mengatakan identik- dengan tradisi, sistem nilai yang berkembang dan dipegangi di kalangan penganut mazhab tasawuf ( Tarekat Islam ).baca kitab pegangan santri tentang tata cara penuntut ilmu, Zarnuji, Ta’lim Al-muta’allim , kudus: menara kudus, 1963. bandingkan dengan kitab pegangan Abd Alwahhab Al-Syarani, Al-Anwar Al-qudsiyah fi ma’rifati Al- syafiyah, Jakarta: Dinamika berkah utama, t.th.
[15] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:Pustaka Muhammadiyah, 1960, hlm.31. Demikian juga di Baghdad juga telah berkembang ribath-ribath (pemondokan kaum sufi) pengikut ajaran Syekh Abdul Qadir al-Jailani, sejak tahun 1092 M. Bahkan Madrasah dan ribath Tarekat Qadiriyah ini semenjak abad XII M, telah menyebar ke berbagai daerah islam, seperti Maroko, Mesir, Arabia, Turkestan dan India. Baca dalam artikel, Kadiriya, dalam The Encylopedia of Islam, Leiden, E.J.Brill, 1978, Vol.IV. hlm. 202-3.
[16] Seperti yang disepakati kebanyakan ahli sejarah Islam, bahwa awal masuknya Islam di kawasan Nusantara adalah awal abad XII M atau akhir abad XIII M.dengan corak Islam sufistik. Oleh para da’I yang dikenal dengan sebutan wali songo. Dengan tanpa bermaksud menafikan kesamaan dengan tradisi Hindu India. Penulis berkesimpulan bahwa asal-usul sistem pendidikan pesantren adalah dari tradisi Islam, yaitu tradisi pendidikan dalam Tasawuf Islam yang berasimilasi dengan budaya setempat. Untuk elaborasi baca Nurcholis majid, “ Pesantren dan Tasawuf “, dalam M. Dawam Raharjo (E.d.), Pesantren dan pembaharuan, jakarta : LP3ES, 1974, hlm. 104
[17] Istilah santri sebagai singkatan kata tersebut tidak penulis jumpai dalam literatur-literatur, tetapi dijumpai dalam pesantren dan masyarakat santri (Pedesaan) di Jawa Timur.
[18]Soejoko Prosojo dkk, Profil Pesantren:Laporan Hasil Penelitian Pesantren al-Falak dan Delapan Pesantren lainnya di Bogor,Jakarta: LP3ES,1975, hlm.11-2.
[19] Penulis tidak pernah mendengar didirikan terlebih dahulu kemudian mencari santri atau Kiyai (di Jawa ), tetapi penulis sendiri pernah di tawari untuk mengasuh “pesantren” yang didirikan dengan modal proyek, yaitu di Kabupaten Joneponto Sulsel. Padahal tidak ada figur Kiyainya. Untuk lebih jauh baca Suyoto, “Pon-pes dalam Alam Pendidikan Nusantara, Dawam Raharjo ( Ed. ), Op.Cit,.hlm. 65.
[20] Zamahsyari Dhofier, Loc.Cit.
[21] Beberapa penelitian terdahulu itu antara lain, Soejoko Prasojo dkk,Profil Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1972, Abdurrahman wahid, Bunga rampai Pesantren, Jakarta: Darman Bhakti,1399H; Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren,Jakarta:LP3ES, 1982.
22Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS 1994, hlm.24
[23]Sarana perangkat lunak mengacu kepda pengertian alat-alat yang bersifat non fisik atau abstrak, sedangkan perangkat keras mengacu kepada pengertian sarana atau perangkat yang bersifat fisik.
[24]Sistem dan tatanilai adalah sesuatu yang dijadikan pegangan untuk terbentuknya sebuah tradisi yang meliputi prinsip-prinsip dan norma –norma dalam institusi di antara keluarga pesantren.
[25]Karel A.Steenbrink, Op.Cit. hlm.208.
[26] Abdurrahman wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, dalam dawam raharjo, (Ed).Op.Cit. hlm.39-44.
[27]Mastuhu, Op.Cit. hlm.66.
[28] Bahkan kebanyakan kiyahi di jawa beranggapan, bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil.Kiyai memiliki kekuasaan dan wewenang “mutlak” dalam aktifitas dan kehidupan di pesantrennya. Lihat Zamakhsari Dhofir, Op.Cit. hlm.56.
[29] Karena itu betapapun demokratisnya susunan kepengurusan dan kepemimpinan di pesantren, masih terdapat jarak yang tak terjembatani antara kiyai dan keluarganya di satu pihak dengan para asisten serta santri di pihak lain. Kiyai bukan primus interpreses, melainkan sebagai pemilik tunggal (ditektur Eigeman). Jadi kedudukan yang dipegang seorang kiyai adalah kedudukan ganda; Sebagai pengasuh dan sekaligus sebagai pemilik pesantren. Baca, Abdurrahman wahid, “Pesantren sebagai subkultur”, dalam Dawam Rahardjo, (Ed),Op.Cit. hlm.46.
[30]Sudjoko Prasodjo, Op.Cit. hlm.12.
[31] Cerita Kiyai Aqib Umar Kelutan Ngronggot Nganjuk (84)’alumni pesantren Termas Pacitan Jawa Timur (1930- 1940)’ teman “senior” prof. Dr Mukti Ali ,mantan Mentri Agama RI .
[32] lihat Abdurrahman Wahid ”pesantren sebagai subkultur “, dalam M.Dawan Raharjo, (Ed),hlm.42.
[33] Pesantren dengan model seperti ini juga masih banyak ditemukan di pesantren-pesantren kecil di jawa timur.
[34]Pengajian-pengajian model ini biasanya diselenggarakan di berbagai tempat secara acak. Ada yang di aula pondok, di dalam masjid, di serambi masjid, di beranda rumah kiyai dan sebagainya.
[35]Tujuan ini merupakan rumusan para kiyai “modern” . Lihat Mastuhu, Op.Cit. hlm. 55-6. Tetapi sepengetahuan penulis, tujuan pesantren adalah ibadah semata. Kiyai mengajar karena ibadah, dan santri belajar juga karena ibadah.
[36]Mastuhu, Op.Cit. hlm.25. Abdurrahman wahid,”Pesantren Sebagai Sukultur” dalam Dawam Raharjo, Op.Cit. hlm. 41.
[37]Mastuhu, Loc.Cit.
[38]Istilah-istilah tersebut tampaknya merujuk kepada istilah-istilah pesantren Jawa/ Madura. Sementara di tempat lain belum didapatkan informasinya.
[39]Mastuhu, Op.Cit. hlm.62-6.
[40]Karel A.Steenbrink, Op.Cit.hlm.211. M.Ishom Hadzik, “Naluri Politik Pasca Khiththah”, dalam S.Sinansari (Ed), NU Khithah dan Godaan Politik, Bandung:mizan, 1994, hlm.87.
[41]Karel A. Steenbrink, Op.Cit, hlm.208.
[42]Di antara guru agama (ulama’) yang didatangkan dari Timur Tengah dan mengadakan pembaharuan di Indonesia adalah Syekh Ahmad al-Syurkati: Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia1900-1942, Jakarta:LP3ES, 1982, hlm.73.
[43]Pengaruh itu begitu kuat, tampaknya karena pendidikan itu banyak didirikan di basis-basis pesantren pedesaan. Yaitu sekolah ongko 1 dan sekolah ongko 2 di samping HIS (sekolah khusus anak pribumi dari kalangan atas).
[44]Karel A.Steenbrink, Op.Cit, hlm. 24.
[45]Biografi KH.Abdul Wahab Hasbullah selengkapnya dapat dibaca dalam, Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit. hlm. 24-7.Karel A.Steenbrink, Op.Cit, hlm. 65-9.
0 komentar:
Post a Comment