A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an telah banyak
mengungkapkan manusia dengan berbagai dimensi dan potensi-potensi yang
dimilikinya.
Dikatakan dalam ayat al-Qur’an bahwa manusia merupakan makhluk
yang bergantung kepada makhluk lain ( Q.S. al-A’laq, 96,2 ). Manusia sebagai
makhluk yang memiliki bentuk fisik yang paling baik ( Q.S. al-Thin, 95;4),
manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat tergesa-gesa ( Q.S al-Anbiya,
21;37 ), manusia sebagai makhluk yang lemah ( Q.S al-Nisa 4:28 ). Dan masih
banyak ayat – ayat lain yang menyatakan tentang hal- hal yang berkaitan dengan
sifat – sifat yang dimilkinya.
Sebagai makhluk yang
memiliki sifat – sifat sebagaimana di atas, manusia diberikan kemampuan
berfikir yang membedakan dnegan makhluk lainnya, dan Allah menjadikan manusia
sebagai khalifah di muka bumi, karena didasarkan pada kemampuan manusia
untuk mengembangkan potensi berfikir.
Dengan dijadikannya manusia sebagai khalifah, hal menunjukkan bahwa manusia
memiliki wilayah kekuasaan di bumi ini.
Dalam surat Shad, 38:26
diterangkan bahwa Allah menjadikan Nabi Daud sebagai khalifah di bumi,
Menurut quraish Shihab,
penggunaan nun jama’ dalam kata Inna ( sesungguhnya Kami ) dalam klausa ini
mengandung makna bahwa dalam pengangkatannya sebagai khalifah, terdapat
keterlibatan pihak lain bersama Allah, yaitu masyarakat, sedangkan Nabi Adam
sebagaimana diterngkan dalam surah al-Baarah 2;30 :
Pengangkatannya dengan
menggunakan kata inni ( sesungguhnya Aku ) yang dilukiskan dalam bentuk
tunggal, hal ini merupakan kewajaran, bukan saja karena ketika kekhalifahan
yang dimaksudkan baru berupa rencana ( Aku akan mengangkat ), tetapi juga
peristiwa itu terjadi tidak ada pihak lain bersama Allah yang terlibat dalam
pengangkatan tersebut. Hal ini berarti bahwa Nabi Daud dalam pengangkatannya di
tuntut untuk memperhatikan kehendak
masyarakat, karena mereka itu termasuk pula sebagai mustakhlif.
Dalam pengangkatannya
sebagai khalifah tersebut, manusia di tuntut untuk mempertanggungjawabkan
segala ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah, manusia
bertanggungjawab pada sesuatu yang telah dibebankan kepadanya, yang berupa
amanat. Akan tetapi, amanat yang tercantum dalam ayat – ayat al-qur’an tidak
disepakati oleh para mufassir tentang pengertian yang sebanarnya.
Sehubungan dnegan hal
tersebut, dalam makalah ini akan dibahas mengenai amanat, dengan mengemukakan
salah satu ayat yang mengupas tentang amanat yakni surah al-Ahzab 33:72. Dari ayat ini kemudian dianalisis
dengan tehnik-tehnik sebagai berikut : Obyek yang diteliti di bagi dalam
beberapa klausa, yang sudah tercakup didalamya kosa kata dan frase, kemudian
ayat tersebut di bahas secara keseluruhan dengan mengemukakan asbab al-nuzul,
ayat-ayat yang relevan dan hal – hal lain yang berkaitan dengannya. Dengan
pembahasan ini dapat diketahui jawaban tentang apakah amanat itu ? bagaimana
prosesnya manusia sebagai pembawa amanat ? dan bagaimana pula konsekwensi
amanat terhadap manusia ? sedang metod pembahasan dalam kajian ayat ini dengan
melalui pendekatan eksigesis.
B. AMANAT DARI ALLAH
Manusia sebagai pembawa
amanat dalam pembahasan ini didasarkan paa QS. Al-Ahzab, 33; 72:
Dari ayat tersebut kemudian
dianalisis dengan mengklasifikasikan ke dalam beberapa klausa, yaitu :
1.
Kata – kata yang perlu
dijadikan kata kunci dari klausa di atas adalah ‘araba dan al-amanat. Kosa kata
‘arada yang merupkan fi’il madli
mempunyai bentuk fi’il mudari’ ya’ridu yang berarti memperlihatkan,
manampakkan. Kosa kata tersebut di samping itu juga bermakna meletakkan,
menimpa. Dalam Al-Qur’an penggunaan kata ‘arada selain terdapat dalam surat
al-Ahzab juga terdapat dalam surat yang lain, yaitu surat al-Baqarah 2:31 ;
Dan surah al-Kahfi 18,100
Dari ayat-ayat tersebut maka
makna ‘arada yang dianggap paling sesuai adalah memperlihatkan, atau makna yang
serupa, yaitu menawarkan.
Dari ayat tersebut dengan
menggunakan nun jama’ pada lafadz inna ‘aradna, menurut ulama menunjukkan
adanya keagungan dan kebesaran Tuhan, karena raja-raja dan pembesar – pembesar
mengungkapkan dirinya dengan menggunakan bentuk jamak.
Al-Amanat. Kata al-Amanat
yang menjadi pokok pembahasan dalam ayat tersebut di atas merupakan bentuk isim
mashdar dai pola kata kerja amina, ya’manu, amn (an), amanat(an ), aman(an),
imn (an), amana(an ) yang secara leksikal berarti tenang dan tidak takut. Kata
tersebut juga bisa berasal dari kata kerja amuna, ya’munu, amanat(an) yang
bermakna menepati janji. Walaupun demikian, kata tersebut di sini tidak
dipergunakan sbagai ism mashdar, tetapi sebagai ism maf’ul.
Dalam al-Qur’an penggunaan
kosa kata amanat dalam bentuk isim mufrad, selain terdapat dalam surat
al-Ahzab, juga terdapat dalam surat al-Baqarah 2; 283, yang berkaitan dengan
persoalan utang piutang, sedangkan penggunaan amanat dalam bentuk isim jama’
tercantum sebanyak 4 kali, yaitu :
Pengertian al-amanat dalam
surat al-Ahzab tersebut tidak disepakati oelh para ulama. Musthafa al Maraghi
memberikan pengertian amanat dengan semua apa yang dipercayakan kepada
seseorang berupa perintah dan larangan dalam hal urusan agama dan dunia, dan
yang dimaksudkan dnegan konteks dalam hal ini adalah beban – beban keagamaan.
Pengertian yang dikemukakan oleh al-maraghi ini mencakup berbagai kewajiban –
kewajiban, baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia.
Para ulama banyak yang hanya
memberikan pengerian amanat pada hal-hal yang berkaitan dengan agama saja atau
hal-hal tertentu. Qatadah misalnya, membatasi pengertian amanat hanya pada
hutang, kewajiban-kewajiban dan hukuman-hukuman. Apa yang dimaksud dengan kewajiban
– kewajiban di sini tidak jelas, apakah mencakup kehidupan dunia atau tidak.
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa amanat yang dimaksudkan dalam ayat tersebut
adalah beban-beban syari’at, seperti sholat, puasa dan lain lain. Pendapat lain
mengatakan bahwa amanat adalah shalat, puasa dan mandi janabat. Abdullah Ibn
Umar berkata :” Sesuatu yang diciptakan Allah dari bagian manusia adalah
farjinya. Kemudian Allah berfirman : “ Inilah manat-Ku terhadapmu maka janganlah engkau
meletakkannya kecuali pada haknya. Farji adalah amanat, pendengaran adalah
amanat, dan penglihatan juga amanat.
Menurut Ibn Abbas, bahwa yang dimaksud dengan amanat adalah ketaatan dan
kewajiban – kewajiban. Pendapat lain mengatakan, bahwa amanat adalah kalimat tauhid merupakan
sumber terbesar dari beban – beban syari’at. Pendapat lain memilih akal sebagai
pengertian dari amanat, karena dengan akal pengetahuan tentang tauhid dapat
dihasilkan, keadilan dapat dijalankan, huruf – huruf hijaiyyah dapat diketahui,
dengan akal dapat mengetahui perbuatan baik manusia, dan dengan akal pula
manusia dilebihkan atas makhluk yang lain.
Pendapat – pendapat
sebagaimana tersebut di atas, kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya tidak ada
pertentangan, dan bahkan ada yang saling mnguatkan. Pendapat yang dikemukakan
oleh Wahbah Zuhaili misalnya, dikuatkan pendapat Ibn Abbas, dan dikuatkan pula
oleh pendapat Qatadah, begitu pula sebaliknya, pendapat Ibn Abbas dikuatkan
oleh pendapat Wahbah Zuhaili, demikian juga
pendapat Qatadah. Dan adanya perbedaan –perbedaan itu disebabkan oleh
perbedaan pendekatan, misalnya pendapat yang menyatakan bahwa amanat adalah
shalat, puasa dan mandi janabat, pendekatan yang dilakukan adalah berdasarkan
hadis yang ditakhrij oleh ‘abd al-Razaq. Pendapat yang menyatakan bahwa amanat
adalah shalat, didasarkan pada ungkapan Ali ibn Abi Thalib, yakni ketika sudah
masuk waktunya shalat, pucat wajahnya, maka beliau ditanya tentang yang
demikian itu. ‘Ali berkata :” Sesungguhnya telah masuk padaku waktu amanat,
Allah telah menawarkannya pada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka
enggan membawanya, dan merasa khawatir terhadapnya, dan saya telah membawanya
beserta kelemahan saya, maka saya tidak
tahu bagaimana melaksanakannya”.
Pengertian yang lebih luas
dari pendapat-pendapat di atas adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Thabathaba’i dan Jalal al Din al Suyuti. Thabathaba’i menafsirkan amanat dengan
segala sesuatu yang dititipkan pada yang lain untuk dijaga, kemudian
dikembalikan kepada yang telah menitipkannya. Sedangkan amanat yang dimaksudkan
dalam ayat ini adalah sesuatu yang dipercayakan oleh Allah kepada manusia untuk
dijaga keselamatan dan kelangsungannya, kemudian dikembalikan padaNya
sebagaimana Allah telah menitipkannya. Jalal al Din al Suyuti mengatakan bahwa
yang dimaksud amanat adalah apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah Swt.
Dari berbagai penjelasan di
atas, akhirnya dapat diberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan amanat
dalam surat al-Ahzab tersebut adalah tanggungjawab menjalankan hukum – hukum
agama, dengan kewajiban menjalankan perintah – perintah yang telah dibebankan
oleh Allah dan maenjauhi segala larangan-laranganNya. Hal ini sudah mencakup
keseluruhan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh ulama sebagaimana yang
telah disebutkan.
Dengan memperhatikan makna
kosa kata dan frase tersebut, dapat dieroleh pengertian klausa dari ayat
tersebut, yaitu Allah telah menawarkan tenggungjawab untuk menjalankan hukum –
hukum agama kepada langit bumi dan gunung – ngunung.
2.
Aba. Secara etimologis, kosa
kata aba tersusun dari huruf hamzah, ba’
dan ya’ yang menunjukkan pertentangan. Pola fi’il madli ini maembentuk fi’il
mudari ya’ba atau ya’bi dengan bentuk isim mashdar iba (an), iba’at(an) yang
bermakna juga benci dan tidak meridlainya. Dalam Al-Qur’an, kata aba dalam
bentuk fi’il madli terulang sebanyak 9 kali. 3 kali yang berhubungan dengan
iblis, 3 kali yang berhubungan dengan persoalan kekufuran, 1 kali yang
berkaitan dengan Fir’aun, 1 kali yang berkaitan dengan Nabi Khidr, dan 1 kali
yang berkaitan dengan amanat. Dari ayat – ayat yang tercantum kata aba, maka
makna – makna secara keseluruhan menunjukkan adanya pertentangan langit, bumi
dan gunung – gunung terhadap amanat yang ditawarkan oleh Allah. Apabila frase
abayna digabungkan dengan anyahminalha, mengandung arti langit, bumi dan gunung
– gunung enggan untuk membawa amanat.
Asyfaqa. Kata ini berasal
dari syafiqa, yasfaqa, syafaq(an ) yang secara leksikal bermakna khawatir dan
waspada, kemudian dari fi’il mujarrad ini dirubah menjadi mazid yang mengikuti
pola af ala, sehingga menjadi asyfaqa yang bermakna merasa khawatir, takut.
Dari kata ini, selanjutnya diinterpretasikan berdasarkan klausa wa asyfaqna
minha, yang mengandung arti langit, bumi dan gunung – gunung merasa khawatir
terhadap kemampuannya untuk dapat melaksanakan amanat itu.
Dengan demikian, jika klausa
tersebut dikaitkan pada klausa sebelumnya, sehingga menjadi fa abayna an
yahminalha wa asyfaqnamanha, maka makna yang dimaksudkan adalah bahwa makhluk
tersebut enggan untuk membawa amanat dan merasa khawwatir terhadap kemampuan
untuk dapat melaksanakannya.
3.
Dari klausa tersebut, dapat
diambil kata kunci pokok al-insan. Para ulama memberikan telaah bahwa kata insan berasal dari kata nasa,
yanusu yang berakar kata dengan huruf – huruf nun, waw dan sin yang bermakna
dasar bergoncang. Dan pendapat keempat menyatakan bahwa kata insan terambil
dari kata naus yang berarti pergerakan dan dinamisme.
Jika pendapat – pendapat di
lihat berdasarkan kaidah isytiqaq, maka pendapat yang dipandang lebih kuat
adalah pendapat kedua, yakni kata insan berasal dari kata ins yang berakar kata
dengan huruf – huruf hamzah, nun dan sin yang berarti ( keadaan ) tampaknya
sesuatu yang jinak. Hal ini dapat dilihat dari dua segi :
- Pembentukan kata insan dari kata nasiya
atau nasa, yang berdasarkan metode isytiqaq tidak diterima sebagai metode
pembentukan kata ‘Arab, sedangkan pembentukan kata insan atau ins dikenal
dengan isytiqaq umum.
- Dari sudut etimologis dan leksikal,
tidak ditemukan adanya hubungan yang nyata antara makna masing – masing
kata ( nasiya dan nasa ) dengan kata insan. Hal tersebut karena secara
etimologis yang pertama bermakna melalaikan atau meninggalkan sesuatu, dan
secara leksikal berarti melupakan, tidak mengingat, kata kedua secara
etimologis bermakna bergoncang dan bolak-balik dan secara leksikal
bermakna menuntun, bergoyang-giyang dan bolak-balik.
Akan tetapi makna – makna
tersebut paling tidak memberikan gambaran tentang sifat kodrati makhluk
tersebut, yaitu manusia mempunyai sifat lupa, mempunyai kemampuan untuk
bergerak dan melahirkan dinamisme, atau makhluk yang selalu atau sewajarnya
melahirkan rasa senang, harmonisme dan kebahagiaan kepada pihak lain.
Dalam
al-qur’an kata al-insan terulang sebanyak 65 kali yang pada umumnya menjelaskan
sifat dan potensi ini, baik positif maupun negatif. Dengan demikian, dapat
dinyatakan bahwa kata insan menggambarkan makhluk manusia dengan segala sifat
dan potensinya yang dapat membedakan antara seseorang dengan orang lain.
Jalaluddin
Rahmat dalam mengupas tentang al insan ini, mengelompokkan dalam tiga kategori.
Pertama, insani dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau
pemikul amanat. Kedua, insan dihubungkan dengan presdiposisi negatif diri
manusia. Dan ketiga, insan dhubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua
konteks insan ini menunjuk pada sifat – sifat psikologis atau spiritual.
Di
samping al insan yang diartikan dengan manusia, terdapat kata – kata yang
searti, yaitu al-basyar, al-nas, unas, anasiy, ins, dan insiy. Al –Nas disebut
sebanyak 241 kali. Unas disebutkan sebanyak 5 kali, yaitub Q.S. al-Baqarah,
2:60; Q.S. Al-A’raf, 7:82 dan 160, Q.S. al-Isra’, 170;171, dan Q.S al-Naml,
27;56. Anasiy hanya disebutkan 1 kali, yaitu Q.S al-Furqan, 65;49. Ins
disebutkan sebanyak 18 kali. Dan insiy disebutkan hanya 1 kali, yaitu Q.S.
Maryam, 19;26. Kata – kata tersebut di atas, selain al-basyar, berakar dari
huruf yang sama, yang terdiri dari hamzah, nun dan sin.
Dalam
pembahasan ini, tidak akan diuraikan secara keseluruhan kosa kata tersebut, dan
sebagai pokok bahasan selain al-insan
berikut ini akan diuraikan pengertian tentang al-basyar.
Al-basyar.
Al-Basyar berakar dari huruf ba’, syin dan ra’ yang bermakna pokok yang
berarti nampaknya sesuatu dengan baik
dan indah. Dari huruf – huruf ini membentuk pola fi’il madli basyara yang
berarti bergembira, menguliti, dan juga berarti memperhatikan dan mengurus
sesuatu. Menurut al-Raghib, kata basyar adalah jama’ dari basyarat yang berarti
kulit. Dan manusia disebut basyar karena kulit manusia tampak berbeda dibanding
dengan kulit hewan lainnya. Kata ini dalam al-qur’an secara khusus merujuk
kepada tubuh dan lahiriah manusia. Kata al-basyar yang berarti manusia, bisa
digunakan untuk muzakkar, muannas, mufrad, musanna, jama’, kecuali yang
terdapat dalam surat al-Mu’minun, 23;47;
Basyar
berarti manusia, disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali. Apabila ayat –
ayat yang terdapat kata basyar diteliti, maka akan nampak bahwa basyar memberi
indikasi pada manusia sebagai makhluk biologis, manusia dari segi fisik serta
nalurinya yang tidak berbeda dengan seseorang dengan orang lain selama mereka
semua adalah manusia.
Ayat-ayat
al-qur’an yang memberikan indikasi bahwa kata basyar menunjukkan sebagai
makhluk biologis, misalnya :
Dari
surat Ali Imran 3;47, menunjukkan bahwa kata basyar yang berarti manusia
memberikan indikasi adanya makhluk biologis yang berkaitan dnegan seksual.
Surat al-Mu’minun, 23;33, menunjukkan adanya makhluk biologis yang berkaitan
dengan makan dan minum, dan terhadap
surat al-kahfi, 18;110; Quraish Shihab memberikan uraian bahwa menggunakan kata
basyar menunjukkan adanya persamaan Nabi Muhammad dengan manusia yang laindari
segi fisik semata.
Dengan
memperhatikan ayat-ayat yang mengungkapkan tentang al-insan dan al-basyar, mak
adapat diambil kesimpulan bahwa dalam al-insan terdapat indikasi pesamaan
manusia dari segi fisik dan potensi –potensinya yang bersifat psikis, sedang
dalam al-basyar terdapat indikasi persamaan dari segi fisik saja.
Dengan
mengemukakan kata al-insan dan al-basyar, dan dihubungkan dengan klausa surat
al-Ahzab, 33;72, yang berbunyi : wa hamalaha al – insan, dapat dipahami bahwa
manusia yang telah membawa amanat, tidak hanya dari segi fisiknya, tetapi juga
dari segi psikis, sehingga dalam implikasinya, manusia dengan fisik dan potensi
yang ada pada dirinya di tuntut untuk
membawa amanat yang telah diberikan oleh Allah padanya.
Kelanjutan
dari klausa tersebut adalah
Menurut
Musthafa al-Maraghi, kata zalum berarti bahwa manusia banyak zalimnya karena
kekuatan emosional mengalahkan dirinya, dan kata jahul, berarti bahwa manusia
banyak dungunya, karena kekuatan kesenangannya mengalahkan dirinya.
Thabathaba’i dalam mengulas ayat ini mengatakan bahwa manusia zalim karena
memaksakan diri untuk menerima amanat yang bergitu berat, dan jahil karena
tidak tahu resiko yang bakal terjadi akibat jika manusia melanggar amanat.
Dengan
demikian, klausa ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia yang telah membawa
amanat, dikatakan zalim karena memaksakan diri untuk membawa manat yang sangat
berat, dan dikatakan jahil karena dengan membawa amanat, manusia tidak tahu
akibat yang terjadi seandainya melanggar terhadap beban yang berupa amanat
tersebut.
C.
KONSEKWENSI MANUSIA YANG TELAH MEMBAWA AMANAT
Asbab
al-nuzul dari surat al-Ahzab tersebut, menurut ibn al-qayyim al-jawzi adalah
sebagai berikut : Tatkala Allah menciptakan Nabi Adam a.s. dan ditiupkan ruh,
amanat digambarkan dengan batu besar, kemudian Allah berfirman kepada langit :
“ bawalah batu ini “, maka langit enggan membawa, kemudian Allah berfirman
kepada bumi:” Bawalah batu ini “, maka bumi berkata :” tidak mampu bagiku untuk
membawanya”, dan allah berfirman kepada gunung- gunung: “ Bawalah batu ini “,
maka gunung – gunung berkata : “ Tidak mampu bagiku untuk membawanya “, dan selanjutnya
Nabi Adam as menerimanya dan berkat :” Jika Engkau menghendaki, sungguh saya
membawanya”. Kemudian Nabi Adam membawanya sampai pada kedua pinggangnya dan
selanjutnya meletakkannya pada pundaknya, dan ketika akan diletakkan, dipanggil
oleh Tuhan: “ Hai Adam, ditetapkan ditempatnya, dan jangan meletakkannya,
amanat ini tetap dipundaknya dan pundak anak turunmu sampai hari kiamat.
Terhadap amanat itu, ada pahala dalam mengembannya dan ada siksa dalam
meninggalkannya.
Mujahid
dalam menanggapi ayat tersebut, berpendapat lain: Allah telah menwarkan amanat
kepada langit, dan langit berkata,” Wahai Tuhanku, Engkau telah membebaniku
bintang – bintang dan penghuninlangit, dan aku tidak ingin memperoleh pahala
dan juga tidak mau mengemban kewajiban – kewajiban”. Kemudian Allah
menwarkannya pada bumi, dan bumi berkata:” Wahai Tuhanku, Engkau telah menanam
di mulutku pohon – pohon, dan mengalirkan di mulutku sungai – sungai dan
penghuni bumi, dan aku tidak ingin memperoleh pahala dan dan juga tidak mau
mengemban kewajiban-kewajiban”. Kemudian gunung berkata dengan semacam itu. Dan
Allah berfirman: wa hamalaha al-insan innahu kana zaluman jahula.
Ibn
al-Qayyim al-Jawzi dalam memberikan keterangan tentang asbab al – nuzul ayat
tersebut, dapat dipahami bahwa keengganan
langit, bumi dan gunung – gunung untuk
mengemban amanat karena merasa berat sebagimana amanat dipersonifikasikan
dengan bat besar. Dan manusia yang memilki fisik yang lemah di banding dengan
makhluk tersebut, menerima amanat walaupun keadaan sangat berat dan terkesan
dipaksakan. Sedang pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid, bahwa keengganan
langit, bumi dan gunung – gunung, disamping merasa berat untuk membawa amanat,
karena langit sudah diberi beban berupa bintang – bintang dan penghuni langit,
dan bumi sudah dibebani pohon – pohon, sungai – sungai dan penghuni bumi, serta
demikian pula gunung – gunung, juga karena makhluk – makkhluk tersebut tidak
menginginkan memperoleh pahala.
Manusia
mengemban amanat dengan tidak memperkirakan kamampuan lainnya, apakah sanggup
untuk melaksanakan atau tidak, sehingga manusia dikatakan zalim. Dan manusia
disamping itu juga menginginkan untuk memperoleh pahala, tetapi tidak tahu
akibat dari pelanggaran amanat tersebut, sehingga manusia dikatakan jahil.
Amanat
yang telah diemban oelh manusia, mempunyai konsekwensi terhadap dirinya. Jika
manusia mampu melaksakannya, maka akan memperoleh pahala surga yang kekal,
sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an :
Akan
tetapi bila manusia tidak mampu memelihara amanat, maka Allah akan menyiksanya,
sebagaimana adanya munasabah dengan kelanjutan surah al-Ahzab tersebut :
Ayat
ini memberi pengertian bahwa manusia telah mengemban amanat, terhadap orang
yang tidak memeliharanya dan tidak menerima dengan penuh ketaatan, maka Allah
sungguh akan menyiksanya. Dan apabila manusia yang tidak melaksanakan amanat
bertaubat , maka Allah menerima taubat mereka, karena Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
D.KESIMPULAN
Dari
uaraian – uraian di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa pengertian amanat
sebagaimana yang terdapat dalam surah al-ahzab, 33;72 adalah tanggung jawab
menjalankan hukum – hukum agama, dengan kewajiban melaksanakan perintah –
perintah yang telah dibebankan oleh Allah swt, dan menjauhi segala larangan –
laranganNya.
Pada
awalnya, allah menawarkan amanat kepada langit, dan langit enggan membawa
karena sudah menerima beban yang berta, yaitu bintang – bintang dan penghuni
langit. Kemudian menawarkan kepada bumi, dan bumi enggan menerima juga, karena
sudah ditanami pohon – pohon dan penghuni bumi, demikian pula gunung yang
enggan membawa amanat. Di samping itu, amanat yang digambarkan dengan batu
besar, bagi makhluk – makhluk tersebut yang memiliki fisik yang lebih kuat dari
manusia, merasa berta membawanya dan merasa khawatir untuk tidak dapat
melaksanakannya, serta tidak menginginkan memperoleh pahala. Akan tetapi,
manusia dnegan fisik yang lemah dan potensi – potensi yang ada telah membawa
amanat dengan sangat berat dan terkesan memaksakan diri, karena tidak
memperkirakan kemampua, sehingga manusia dikatakan zalum. Dan manusia juga
menginginkan untuk memperoleh pahala, tetapi tidak tahu resiko yang bakal
terjadi seandainya melanggar amanat yang telah diterimanya sehingga manusia
dikatakan jahul.
Sebagai
konsekwensi terhadap amanat yang telah dibawanya, jika manusia memelihara dan
melaksakannya dengan penuh ketaatan, maka Allah akan menyediakan baginya surga
yang kekal, tetapi jika manusia tidak memelihara dan tidak melaksanakannya maka
Allah sungguh akan menyiksanya.
0 komentar:
Post a Comment