Powered by Blogger.
RSS

MANUSIA SEBAGAI PEMBAWA AMANAT
















A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an telah banyak mengungkapkan manusia dengan berbagai dimensi dan potensi-potensi yang dimilikinya.
Dikatakan dalam ayat al-Qur’an bahwa manusia merupakan makhluk yang bergantung kepada makhluk lain ( Q.S. al-A’laq, 96,2 ). Manusia sebagai makhluk yang memiliki bentuk fisik yang paling baik ( Q.S. al-Thin, 95;4), manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat tergesa-gesa ( Q.S al-Anbiya, 21;37 ), manusia sebagai makhluk yang lemah ( Q.S al-Nisa 4:28 ). Dan masih banyak ayat – ayat lain yang menyatakan tentang hal- hal yang berkaitan dengan sifat – sifat yang dimilkinya.
Sebagai makhluk yang memiliki sifat – sifat sebagaimana di atas, manusia diberikan kemampuan berfikir yang membedakan dnegan makhluk lainnya, dan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, karena didasarkan pada kemampuan manusia untuk  mengembangkan potensi berfikir. Dengan dijadikannya manusia sebagai khalifah, hal menunjukkan bahwa manusia memiliki wilayah kekuasaan di bumi ini.
Dalam surat Shad, 38:26 diterangkan bahwa Allah menjadikan Nabi Daud sebagai khalifah di bumi,


Menurut quraish Shihab, penggunaan nun jama’ dalam kata Inna ( sesungguhnya Kami ) dalam klausa ini mengandung makna bahwa dalam pengangkatannya sebagai khalifah, terdapat keterlibatan pihak lain bersama Allah, yaitu masyarakat, sedangkan Nabi Adam sebagaimana diterngkan dalam surah al-Baarah 2;30 :



Pengangkatannya dengan menggunakan kata inni ( sesungguhnya Aku ) yang dilukiskan dalam bentuk tunggal, hal ini merupakan kewajaran, bukan saja karena ketika kekhalifahan yang dimaksudkan baru berupa rencana ( Aku akan mengangkat ), tetapi juga peristiwa itu terjadi tidak ada pihak lain bersama Allah yang terlibat dalam pengangkatan tersebut. Hal ini berarti bahwa Nabi Daud dalam pengangkatannya di tuntut untuk memperhatikan  kehendak masyarakat, karena mereka itu termasuk pula sebagai mustakhlif.
Dalam pengangkatannya sebagai khalifah tersebut, manusia di tuntut untuk mempertanggungjawabkan segala ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah, manusia bertanggungjawab pada sesuatu yang telah dibebankan kepadanya, yang berupa amanat. Akan tetapi, amanat yang tercantum dalam ayat – ayat al-qur’an tidak disepakati oleh para mufassir tentang pengertian yang sebanarnya.
Sehubungan dnegan hal tersebut, dalam makalah ini akan dibahas mengenai amanat, dengan mengemukakan salah satu ayat yang mengupas tentang amanat yakni surah al-Ahzab  33:72. Dari ayat ini kemudian dianalisis dengan tehnik-tehnik sebagai berikut : Obyek yang diteliti di bagi dalam beberapa klausa, yang sudah tercakup didalamya kosa kata dan frase, kemudian ayat tersebut di bahas secara keseluruhan dengan mengemukakan asbab al-nuzul, ayat-ayat yang relevan dan hal – hal lain yang berkaitan dengannya. Dengan pembahasan ini dapat diketahui jawaban tentang apakah amanat itu ? bagaimana prosesnya manusia sebagai pembawa amanat ? dan bagaimana pula konsekwensi amanat terhadap manusia ? sedang metod pembahasan dalam kajian ayat ini dengan melalui pendekatan eksigesis.

B. AMANAT DARI ALLAH
Manusia sebagai pembawa amanat dalam pembahasan ini didasarkan paa QS. Al-Ahzab, 33; 72:


Dari ayat tersebut kemudian dianalisis dengan mengklasifikasikan ke dalam beberapa klausa, yaitu :
1.

Kata – kata yang perlu dijadikan kata kunci dari klausa di atas adalah ‘araba dan al-amanat. Kosa kata ‘arada yang merupkan fi’il  madli mempunyai bentuk fi’il mudari’ ya’ridu yang berarti memperlihatkan, manampakkan. Kosa kata tersebut di samping itu juga bermakna meletakkan, menimpa. Dalam Al-Qur’an penggunaan kata ‘arada selain terdapat dalam surat al-Ahzab juga terdapat dalam surat yang lain, yaitu surat al-Baqarah 2:31 ;

Dan surah al-Kahfi 18,100

Dari ayat-ayat tersebut maka makna ‘arada yang dianggap paling sesuai adalah memperlihatkan, atau makna yang serupa, yaitu menawarkan.
Dari ayat tersebut dengan menggunakan nun jama’ pada lafadz inna ‘aradna, menurut ulama menunjukkan adanya keagungan dan kebesaran Tuhan, karena raja-raja dan pembesar – pembesar mengungkapkan dirinya dengan menggunakan bentuk jamak.
Al-Amanat. Kata al-Amanat yang menjadi pokok pembahasan dalam ayat tersebut di atas merupakan bentuk isim mashdar dai pola kata kerja amina, ya’manu, amn (an), amanat(an ), aman(an), imn (an), amana(an ) yang secara leksikal berarti tenang dan tidak takut. Kata tersebut juga bisa berasal dari kata kerja amuna, ya’munu, amanat(an) yang bermakna menepati janji. Walaupun demikian, kata tersebut di sini tidak dipergunakan sbagai ism mashdar, tetapi sebagai ism maf’ul.
Dalam al-Qur’an penggunaan kosa kata amanat dalam bentuk isim mufrad, selain terdapat dalam surat al-Ahzab, juga terdapat dalam surat al-Baqarah 2; 283, yang berkaitan dengan persoalan utang piutang, sedangkan penggunaan amanat dalam bentuk isim jama’ tercantum sebanyak 4 kali, yaitu :


Pengertian al-amanat dalam surat al-Ahzab tersebut tidak disepakati oelh para ulama. Musthafa al Maraghi memberikan pengertian amanat dengan semua apa yang dipercayakan kepada seseorang berupa perintah dan larangan dalam hal urusan agama dan dunia, dan yang dimaksudkan dnegan konteks dalam hal ini adalah beban – beban keagamaan. Pengertian yang dikemukakan oleh al-maraghi ini mencakup berbagai kewajiban – kewajiban, baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia.
Para ulama banyak yang hanya memberikan pengerian amanat pada hal-hal yang berkaitan dengan agama saja atau hal-hal tertentu. Qatadah misalnya, membatasi pengertian amanat hanya pada hutang, kewajiban-kewajiban dan hukuman-hukuman. Apa yang dimaksud dengan kewajiban – kewajiban di sini tidak jelas, apakah mencakup kehidupan dunia atau tidak. Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa amanat yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah beban-beban syari’at, seperti sholat, puasa dan lain lain. Pendapat lain mengatakan bahwa amanat adalah shalat, puasa dan mandi janabat. Abdullah Ibn Umar berkata :” Sesuatu yang diciptakan Allah dari bagian manusia adalah farjinya. Kemudian Allah berfirman : “ Inilah manat-Ku  terhadapmu maka janganlah engkau meletakkannya kecuali pada haknya. Farji adalah amanat, pendengaran adalah amanat, dan penglihatan  juga amanat. Menurut Ibn Abbas, bahwa yang dimaksud dengan amanat adalah ketaatan dan kewajiban – kewajiban. Pendapat lain mengatakan,  bahwa amanat adalah kalimat tauhid merupakan sumber terbesar dari beban – beban syari’at. Pendapat lain memilih akal sebagai pengertian dari amanat, karena dengan akal pengetahuan tentang tauhid dapat dihasilkan, keadilan dapat dijalankan, huruf – huruf hijaiyyah dapat diketahui, dengan akal dapat mengetahui perbuatan baik manusia, dan dengan akal pula manusia dilebihkan atas makhluk yang lain.
Pendapat – pendapat sebagaimana tersebut di atas, kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya tidak ada pertentangan, dan bahkan ada yang saling mnguatkan. Pendapat yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili misalnya, dikuatkan pendapat Ibn Abbas, dan dikuatkan pula oleh pendapat Qatadah, begitu pula sebaliknya, pendapat Ibn Abbas dikuatkan oleh pendapat Wahbah Zuhaili, demikian juga  pendapat Qatadah. Dan adanya perbedaan –perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan pendekatan, misalnya pendapat yang menyatakan bahwa amanat adalah shalat, puasa dan mandi janabat, pendekatan yang dilakukan adalah berdasarkan hadis yang ditakhrij oleh ‘abd al-Razaq. Pendapat yang menyatakan bahwa amanat adalah shalat, didasarkan pada ungkapan Ali ibn Abi Thalib, yakni ketika sudah masuk waktunya shalat, pucat wajahnya, maka beliau ditanya tentang yang demikian itu. ‘Ali berkata :” Sesungguhnya telah masuk padaku waktu amanat, Allah telah menawarkannya pada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka enggan membawanya, dan merasa khawatir terhadapnya, dan saya telah membawanya beserta kelemahan saya, maka saya  tidak tahu bagaimana melaksanakannya”.
Pengertian yang lebih luas dari pendapat-pendapat di atas adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Thabathaba’i dan Jalal al Din al Suyuti. Thabathaba’i menafsirkan amanat dengan segala sesuatu yang dititipkan pada yang lain untuk dijaga, kemudian dikembalikan kepada yang telah menitipkannya. Sedangkan amanat yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah sesuatu yang dipercayakan oleh Allah kepada manusia untuk dijaga keselamatan dan kelangsungannya, kemudian dikembalikan padaNya sebagaimana Allah telah menitipkannya. Jalal al Din al Suyuti mengatakan bahwa yang dimaksud amanat adalah apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah Swt.
Dari berbagai penjelasan di atas, akhirnya dapat diberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan amanat dalam surat al-Ahzab tersebut adalah tanggungjawab menjalankan hukum – hukum agama, dengan kewajiban menjalankan perintah – perintah yang telah dibebankan oleh Allah dan maenjauhi segala larangan-laranganNya. Hal ini sudah mencakup keseluruhan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh ulama sebagaimana yang telah disebutkan.
Dengan memperhatikan makna kosa kata dan frase tersebut, dapat dieroleh pengertian klausa dari ayat tersebut, yaitu Allah telah menawarkan tenggungjawab untuk menjalankan hukum – hukum agama kepada langit bumi dan gunung – ngunung.
2.

Aba. Secara etimologis, kosa kata aba tersusun dari  huruf hamzah, ba’ dan ya’ yang menunjukkan pertentangan. Pola fi’il madli ini maembentuk fi’il mudari ya’ba atau ya’bi dengan bentuk isim mashdar iba (an), iba’at(an) yang bermakna juga benci dan tidak meridlainya. Dalam Al-Qur’an, kata aba dalam bentuk fi’il madli terulang sebanyak 9 kali. 3 kali yang berhubungan dengan iblis, 3 kali yang berhubungan dengan persoalan kekufuran, 1 kali yang berkaitan dengan Fir’aun, 1 kali yang berkaitan dengan Nabi Khidr, dan 1 kali yang berkaitan dengan amanat. Dari ayat – ayat yang tercantum kata aba, maka makna – makna secara keseluruhan menunjukkan adanya pertentangan langit, bumi dan gunung – gunung terhadap amanat yang ditawarkan oleh Allah. Apabila frase abayna digabungkan dengan anyahminalha, mengandung arti langit, bumi dan gunung – gunung enggan untuk membawa amanat.
Asyfaqa. Kata ini berasal dari syafiqa, yasfaqa, syafaq(an ) yang secara leksikal bermakna khawatir dan waspada, kemudian dari fi’il mujarrad ini dirubah menjadi mazid yang mengikuti pola af ala, sehingga menjadi asyfaqa yang bermakna merasa khawatir, takut. Dari kata ini, selanjutnya diinterpretasikan berdasarkan klausa wa asyfaqna minha, yang mengandung arti langit, bumi dan gunung – gunung merasa khawatir terhadap kemampuannya untuk dapat melaksanakan amanat itu.
Dengan demikian, jika klausa tersebut dikaitkan pada klausa sebelumnya, sehingga menjadi fa abayna an yahminalha wa asyfaqnamanha, maka makna yang dimaksudkan adalah bahwa makhluk tersebut enggan untuk membawa amanat dan merasa khawwatir terhadap kemampuan untuk dapat melaksanakannya.
3.


Dari klausa tersebut, dapat diambil kata kunci pokok al-insan. Para ulama memberikan telaah  bahwa kata insan berasal dari kata nasa, yanusu yang berakar kata dengan huruf – huruf nun, waw dan sin yang bermakna dasar bergoncang. Dan pendapat keempat menyatakan bahwa kata insan terambil dari kata naus yang berarti pergerakan dan dinamisme.
Jika pendapat – pendapat di lihat berdasarkan kaidah isytiqaq, maka pendapat yang dipandang lebih kuat adalah pendapat kedua, yakni kata insan berasal dari kata ins yang berakar kata dengan huruf – huruf hamzah, nun dan sin yang berarti ( keadaan ) tampaknya sesuatu yang jinak. Hal ini dapat dilihat dari dua segi :
  1. Pembentukan kata insan dari kata nasiya atau nasa, yang berdasarkan metode isytiqaq tidak diterima sebagai metode pembentukan kata ‘Arab, sedangkan pembentukan kata insan atau ins dikenal dengan isytiqaq umum.
  2. Dari sudut etimologis dan leksikal, tidak ditemukan adanya hubungan yang nyata antara makna masing – masing kata ( nasiya dan nasa ) dengan kata insan. Hal tersebut karena secara etimologis yang pertama bermakna melalaikan atau meninggalkan sesuatu, dan secara leksikal berarti melupakan, tidak mengingat, kata kedua secara etimologis bermakna bergoncang dan bolak-balik dan secara leksikal bermakna menuntun, bergoyang-giyang dan bolak-balik.

Akan tetapi makna – makna tersebut paling tidak memberikan gambaran tentang sifat kodrati makhluk tersebut, yaitu manusia mempunyai sifat lupa, mempunyai kemampuan untuk bergerak dan melahirkan dinamisme, atau makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonisme dan kebahagiaan kepada pihak lain.
Dalam al-qur’an kata al-insan terulang sebanyak 65 kali yang pada umumnya menjelaskan sifat dan potensi ini, baik positif maupun negatif. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kata insan menggambarkan makhluk manusia dengan segala sifat dan potensinya yang dapat membedakan antara seseorang dengan orang lain.
Jalaluddin Rahmat dalam mengupas tentang al insan ini, mengelompokkan dalam tiga kategori. Pertama, insani dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanat. Kedua, insan dihubungkan dengan presdiposisi negatif diri manusia. Dan ketiga, insan dhubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konteks insan ini menunjuk pada sifat – sifat psikologis atau spiritual.
Di samping al insan yang diartikan dengan manusia, terdapat kata – kata yang searti, yaitu al-basyar, al-nas, unas, anasiy, ins, dan insiy. Al –Nas disebut sebanyak 241 kali. Unas disebutkan sebanyak 5 kali, yaitub Q.S. al-Baqarah, 2:60; Q.S. Al-A’raf, 7:82 dan 160, Q.S. al-Isra’, 170;171, dan Q.S al-Naml, 27;56. Anasiy hanya disebutkan 1 kali, yaitu Q.S al-Furqan, 65;49. Ins disebutkan sebanyak 18 kali. Dan insiy disebutkan hanya 1 kali, yaitu Q.S. Maryam, 19;26. Kata – kata tersebut di atas, selain al-basyar, berakar dari huruf yang sama, yang terdiri dari hamzah, nun dan sin.
Dalam pembahasan ini, tidak akan diuraikan secara keseluruhan kosa kata tersebut, dan sebagai pokok  bahasan selain al-insan berikut ini akan diuraikan pengertian tentang al-basyar.
Al-basyar. Al-Basyar berakar dari huruf ba’, syin dan ra’ yang bermakna pokok yang berarti  nampaknya sesuatu dengan baik dan indah. Dari huruf – huruf ini membentuk pola fi’il madli basyara yang berarti bergembira, menguliti, dan juga berarti memperhatikan dan mengurus sesuatu. Menurut al-Raghib, kata basyar adalah jama’ dari basyarat yang berarti kulit. Dan manusia disebut basyar karena kulit manusia tampak berbeda dibanding dengan kulit hewan lainnya. Kata ini dalam al-qur’an secara khusus merujuk kepada tubuh dan lahiriah manusia. Kata al-basyar yang berarti manusia, bisa digunakan untuk muzakkar, muannas, mufrad, musanna, jama’, kecuali yang terdapat dalam surat al-Mu’minun, 23;47;

Basyar berarti manusia, disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali. Apabila ayat – ayat yang terdapat kata basyar diteliti, maka akan nampak bahwa basyar memberi indikasi pada manusia sebagai makhluk biologis, manusia dari segi fisik serta nalurinya yang tidak berbeda dengan seseorang dengan orang lain selama mereka semua adalah manusia.
Ayat-ayat al-qur’an yang memberikan indikasi bahwa kata basyar menunjukkan sebagai makhluk biologis, misalnya :


Dari surat Ali Imran 3;47, menunjukkan bahwa kata basyar yang berarti manusia memberikan indikasi adanya makhluk biologis yang berkaitan dnegan seksual. Surat al-Mu’minun, 23;33, menunjukkan adanya makhluk biologis yang berkaitan dengan makan dan minum, dan  terhadap surat al-kahfi, 18;110; Quraish Shihab memberikan uraian bahwa menggunakan kata basyar menunjukkan adanya persamaan Nabi Muhammad dengan manusia yang laindari segi fisik semata.
Dengan memperhatikan ayat-ayat yang mengungkapkan tentang al-insan dan al-basyar, mak adapat diambil kesimpulan bahwa dalam al-insan terdapat indikasi pesamaan manusia dari segi fisik dan potensi –potensinya yang bersifat psikis, sedang dalam al-basyar terdapat indikasi persamaan dari segi fisik saja.
Dengan mengemukakan kata al-insan dan al-basyar, dan dihubungkan dengan klausa surat al-Ahzab, 33;72, yang berbunyi : wa hamalaha al – insan, dapat dipahami bahwa manusia yang telah membawa amanat, tidak hanya dari segi fisiknya, tetapi juga dari segi psikis, sehingga dalam implikasinya, manusia dengan fisik dan potensi yang ada pada dirinya  di tuntut untuk membawa amanat yang telah diberikan oleh Allah padanya.
Kelanjutan dari klausa tersebut adalah
Menurut Musthafa al-Maraghi, kata zalum berarti bahwa manusia banyak zalimnya karena kekuatan emosional mengalahkan dirinya, dan kata jahul, berarti bahwa manusia banyak dungunya, karena kekuatan kesenangannya mengalahkan dirinya. Thabathaba’i dalam mengulas ayat ini mengatakan bahwa manusia zalim karena memaksakan diri untuk menerima amanat yang bergitu berat, dan jahil karena tidak tahu resiko yang bakal terjadi akibat jika manusia melanggar amanat.
Dengan demikian, klausa ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia yang telah membawa amanat, dikatakan zalim karena memaksakan diri untuk membawa manat yang sangat berat, dan dikatakan jahil karena dengan membawa amanat, manusia tidak tahu akibat yang terjadi seandainya melanggar terhadap beban yang berupa amanat tersebut.
C. KONSEKWENSI MANUSIA YANG TELAH MEMBAWA AMANAT
Asbab al-nuzul dari surat al-Ahzab tersebut, menurut ibn al-qayyim al-jawzi adalah sebagai berikut : Tatkala Allah menciptakan Nabi Adam a.s. dan ditiupkan ruh, amanat digambarkan dengan batu besar, kemudian Allah berfirman kepada langit : “ bawalah batu ini “, maka langit enggan membawa, kemudian Allah berfirman kepada bumi:” Bawalah batu ini “, maka bumi berkata :” tidak mampu bagiku untuk membawanya”, dan allah berfirman kepada gunung- gunung: “ Bawalah batu ini “, maka gunung – gunung berkata : “ Tidak mampu bagiku untuk membawanya “, dan selanjutnya Nabi Adam as menerimanya dan berkat :” Jika Engkau menghendaki, sungguh saya membawanya”. Kemudian Nabi Adam membawanya sampai pada kedua pinggangnya dan selanjutnya meletakkannya pada pundaknya, dan ketika akan diletakkan, dipanggil oleh Tuhan: “ Hai Adam, ditetapkan ditempatnya, dan jangan meletakkannya, amanat ini tetap dipundaknya dan pundak anak turunmu sampai hari kiamat. Terhadap amanat itu, ada pahala dalam mengembannya dan ada siksa dalam meninggalkannya.
Mujahid dalam menanggapi ayat tersebut, berpendapat lain: Allah telah menwarkan amanat kepada langit, dan langit berkata,” Wahai Tuhanku, Engkau telah membebaniku bintang – bintang dan penghuninlangit, dan aku tidak ingin memperoleh pahala dan juga tidak mau mengemban kewajiban – kewajiban”. Kemudian Allah menwarkannya pada bumi, dan bumi berkata:” Wahai Tuhanku, Engkau telah menanam di mulutku pohon – pohon, dan mengalirkan di mulutku sungai – sungai dan penghuni bumi, dan aku tidak ingin memperoleh pahala dan dan juga tidak mau mengemban kewajiban-kewajiban”. Kemudian gunung berkata dengan semacam itu. Dan Allah berfirman: wa hamalaha al-insan innahu kana zaluman jahula.
Ibn al-Qayyim al-Jawzi dalam memberikan keterangan tentang asbab al – nuzul ayat tersebut,  dapat dipahami bahwa keengganan langit, bumi dan gunung – gunung  untuk mengemban amanat karena merasa berat sebagimana amanat dipersonifikasikan dengan bat besar. Dan manusia yang memilki fisik yang lemah di banding dengan makhluk tersebut, menerima amanat walaupun keadaan sangat berat dan terkesan dipaksakan. Sedang pendapat yang dikemukakan oleh Mujahid, bahwa keengganan langit, bumi dan gunung – gunung, disamping merasa berat untuk membawa amanat, karena langit sudah diberi beban berupa bintang – bintang dan penghuni langit, dan bumi sudah dibebani pohon – pohon, sungai – sungai dan penghuni bumi, serta demikian pula gunung – gunung, juga karena makhluk – makkhluk tersebut tidak menginginkan memperoleh pahala.
Manusia mengemban amanat dengan tidak memperkirakan kamampuan lainnya, apakah sanggup untuk melaksanakan atau tidak, sehingga manusia dikatakan zalim. Dan manusia disamping itu juga menginginkan untuk memperoleh pahala, tetapi tidak tahu akibat dari pelanggaran amanat tersebut, sehingga manusia dikatakan jahil.
Amanat yang telah diemban oelh manusia, mempunyai konsekwensi terhadap dirinya. Jika manusia mampu melaksakannya, maka akan memperoleh pahala surga yang kekal, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an :


Akan tetapi bila manusia tidak mampu memelihara amanat, maka Allah akan menyiksanya, sebagaimana adanya munasabah dengan kelanjutan surah al-Ahzab tersebut :





Ayat ini memberi pengertian bahwa manusia telah mengemban amanat, terhadap orang yang tidak memeliharanya dan tidak menerima dengan penuh ketaatan, maka Allah sungguh akan menyiksanya. Dan apabila manusia yang tidak melaksanakan amanat bertaubat , maka Allah menerima taubat mereka, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

D.KESIMPULAN
Dari uaraian – uraian di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa pengertian amanat sebagaimana yang terdapat dalam surah al-ahzab, 33;72 adalah tanggung jawab menjalankan hukum – hukum agama, dengan kewajiban melaksanakan perintah – perintah yang telah dibebankan oleh Allah swt, dan menjauhi segala larangan – laranganNya.
Pada awalnya, allah menawarkan amanat kepada langit, dan langit enggan membawa karena sudah menerima beban yang berta, yaitu bintang – bintang dan penghuni langit. Kemudian menawarkan kepada bumi, dan bumi enggan menerima juga, karena sudah ditanami pohon – pohon dan penghuni bumi, demikian pula gunung yang enggan membawa amanat. Di samping itu, amanat yang digambarkan dengan batu besar, bagi makhluk – makhluk tersebut yang memiliki fisik yang lebih kuat dari manusia, merasa berta membawanya dan merasa khawatir untuk tidak dapat melaksanakannya, serta tidak menginginkan memperoleh pahala. Akan tetapi, manusia dnegan fisik yang lemah dan potensi – potensi yang ada telah membawa amanat dengan sangat berat dan terkesan memaksakan diri, karena tidak memperkirakan kemampua, sehingga manusia dikatakan zalum. Dan manusia juga menginginkan untuk memperoleh pahala, tetapi tidak tahu resiko yang bakal terjadi seandainya melanggar amanat yang telah diterimanya sehingga manusia dikatakan jahul.

Sebagai konsekwensi terhadap amanat yang telah dibawanya, jika manusia memelihara dan melaksakannya dengan penuh ketaatan, maka Allah akan menyediakan baginya surga yang kekal, tetapi jika manusia tidak memelihara dan tidak melaksanakannya maka Allah sungguh akan menyiksanya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment